Memo, hari ini.
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Blitar mendapat teguran keras dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait pengelolaan anggaran Dana Pokok Pikiran (Pokir) dan hibah. KPK menilai alokasi dana tersebut sangat rentan terhadap praktik “pengkondisian” dan pembagian jatah yang tidak transparan. Peringatan ini langsung direspons cepat oleh Pemkab Blitar, yang kini diminta segera berbenah untuk anggaran tahun 2025.
Menurut KPK, modus penganggaran ini dapat menyimpang dari semangat penyerapan aspirasi publik dan efisiensi penggunaan anggaran. Bupati Blitar, Rijanto, pada Senin (30/6/2025), menyatakan telah menginstruksikan seluruh jajarannya, termasuk Pj. Sekda yang baru, Khusna Lindarti, untuk menindaklanjuti peringatan tersebut.
“Tadi saya sudah sampaikan… tentunya harus mengikuti perkembangan, apalagi beberapa hari yang lalu kami sudah diundang KPK divisi pencegahan korupsi, pesan-pesan itu bu Khusna (Pj. Sekda) sudah tahu semua, apa yang harus dilakukan kita menuju tata kelola yang harus baik,” ujar Rijanto, menegaskan komitmen perbaikan tata kelola pemerintahan.
APBD Blitar Jadi Sorotan KPK: Anggaran Rp107 Miliar Rawan ‘Main Mata’, Bupati Kena Tegur!
Dalam rapat koordinasi di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (24/6/2025), Direktur Koordinasi dan Supervisi Wilayah III, Ely Kusumastuti, mengungkapkan hasil temuan mengejutkan. Sejumlah usulan pokir tahun anggaran 2025 yang sudah terdaftar dalam Sistem Informasi Pemerintah Daerah (SIPD) didominasi oleh program yang seragam.
Ambil contoh, Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR), di mana 98 usulan pokirnya mayoritas adalah pengelolaan sumber daya air seperti irigasi, dengan nilai pagu rata-rata Rp150 juta hingga Rp500 juta per kegiatan.
Ely menyoroti anomali ini: “Dari data ini terlihat, rata-rata programnya untuk peningkatan jaringan irigasi permukaan sebanyak 98 usulan pokir. Sisanya ada pengelolaan dan pembangunan SPAM atau pembangunan sistem drainase.
Padahal, setiap daerah rasanya memiliki kebutuhan yang berbeda, misalnya untuk jalan, tata ruang, drainase, yang tentunya selaras dengan RPJMD dan prioritas pembangunan daerah.” Pola serupa, menurut Ely, sangat rawan memicu praktik “pembagian jatah” yang tak sejalan dengan aspirasi publik dan efisiensi anggaran.
Kondisi ini kian ironis mengingat postur APBD Kabupaten Blitar tahun 2025 justru menurun menjadi Rp2,6 triliun, namun pagu belanja daerahnya mendekati Rp2,65 triliun.
KPK juga menyoroti proporsi belanja daerah. Pada tahun 2025, belanja melalui *e-purchasing* tercatat Rp266 miliar (48,44%) dan pengadaan langsung Rp179 miliar (32,67%). Sementara itu, porsi tender hanya Rp35 miliar (6,51%), penunjukan langsung Rp6,7 miliar (1,22%), dan pengecualian Rp55 miliar (9,99%).
Proporsi belanja tanpa tender yang signifikan ini dinilai rawan dan membutuhkan mitigasi risiko yang kuat untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas.