Ini bukan sekadar soal volume, melainkan dampak sosial dan etika yang lebih luas. Apakah kemeriahan sekelompok orang layak mengorbankan kenyamanan ribuan lainnya? Pertanyaan inilah yang menjadi inti kajian MUI.
Fatwa Berbasis Realitas: Pelajaran dari Pondok Pesantren
MUI Jatim tidak sendiri dalam melihat fenomena ini. Beberapa pondok pesantren di Jawa Timur bahkan sudah lebih dulu mengambil sikap tegas, mengharamkan penggunaan sound horeg. KH Hasan menjelaskan, keputusan para kiai di pesantren ini bukanlah tanpa dasar.
“Kesimpulan haram itu diambil karena memang banyak unsur mudaratnya. Maka, wajar jika ada yang menghukumi haram secara syariat,” katanya.
Ini menunjukkan adanya keselarasan pandangan antara MUI Jatim dengan akar rumput keagamaan yang lebih dekat dengan realitas harian masyarakat. Fatwa, dalam konteks ini, bukan hanya dogma, melainkan respons terhadap praktik sosial yang terbukti membawa dampak negatif: gangguan kesehatan (pendengaran), ketidaknyamanan, perselisihan antarwarga, hingga pemborosan yang tidak perlu.
Meskipun “sound horeg” bagi sebagian orang adalah ekspresi kegembiraan, kajian MUI Jatim ini mengisyaratkan bahwa batasan antara hiburan dan gangguan telah terlampaui.
Fatwa yang akan dihasilkan nanti diharapkan dapat membawa kembali harmoni di tengah masyarakat, memastikan bahwa kegembiraan satu pihak tidak lantas menjadi beban bagi pihak lainnya. Ini adalah panggilan untuk meninjau ulang definisi hiburan yang bertanggung jawab di era modern.