Di hamparan surga biru yang menjadi jantung keanekaragaman hayati dunia, sebuah bisikan pilu kian nyaring terdengar. Raja Ampat, mutiara timur Indonesia yang namanya termasyhur hingga pelosok bumi, kini dibayangi ancaman yang tak kasat mata, ancaman yang berasal dari dalam perut buminya sendiri: eksploitasi mineral.
Gelombang protes dan kekhawatiran global memuncak, dihembuskan oleh kampanye masif #SaveRajaAmpat dari Greenpeace. Mereka tak tanggung-tanggung menyoroti apa yang mereka sebut sebagai ‘biaya sebenarnya dari nikel’.
Ini bukan sekadar angka di laporan keuangan sebuah perusahaan; ini adalah cerita pilu tentang kehancuran ekologis yang tak terpulihkan dan dugaan pelanggaran hukum yang kerap menyertai industri ekstraktif di Indonesia.
Kepentingan Sesaat Golongan Oligarki Serakah Sebagai Dalang di Balik Perusakan Alam
Dalam unggahan Instagram mereka pada Senin, 9 Juni 2025, Greenpeace secara gamblang menampilkan narasi pedih “The Last Paradise.” Gambar-gambar memilukan tentang keindahan yang terancam punah menjadi tamparan keras bagi siapa pun yang abai terhadap nasib bumi.
Mereka menuding “kepentingan sesaat dan golongan oligarki serakah” sebagai dalang di balik perusakan alam yang makin marak, dan secara terang-terangan menuntut pertanggungjawaban pemerintah.
Ini adalah seruan putus asa dari sebuah surga yang perlahan tapi pasti meredup di bawah bayang-bayang eksploitasi.
Jejak Izin, Jejak Masalah
Jauh sebelum protes ini membahana dan menjadi isu nasional, benih-benih masalah sudah tertanam. Sejak 2013, Raja Ampat, dengan segala keindahan bawah lautnya, telah menjadi “ladang” bagi sejumlah perusahaan tambang.
PT Mulia Raymond Perkasa (MRP) adalah salah satu yang pertama, mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP) melalui SK Bupati Nomor 153.A Tahun 2013. Izin ini, yang berlaku hingga 26 Februari 2033, mencakup area seluas 2.193 hektare di Pulau Batang Pele.
Bayangkan, sebuah hamparan yang begitu luas di salah satu pulau ikonik Raja Ampat, berada di bawah kuasa izin tambang.
Di tahun yang sama, PT Kawei Sejahtera Mining (KSM) mendapat jatah yang lebih besar lagi, 5.922 hektare, juga hingga 2033, melalui SK Bupati Nomor 290 Tahun 2013. Angka-angka ini bukan sekadar luasan lahan, melainkan potensi kerusakan yang membentang puluhan tahun ke depan jika aktivitas pertambangan terus berlanjut tanpa kontrol ketat.
Kemudian, pada 2017, muncul nama PT Gag Nikel, yang telah mengantongi izin operasi produksi berdasarkan SK Menteri ESDM Nomor 430.K/30/DJB/2017.