Blitar, Memo
Fenomena “sound horeg” dan keberadaan DJ dalam acara publik kerap menjadi pemicu perdebatan sengit, khususnya di kalangan masyarakat religius. Namun, di tengah pusaran kontroversi ini, Gus Iqdam, pengasuh Majelis Taklim Sabilul Taubah, tampil dengan sikap yang tegas namun tetap merangkul.
Ia tidak hanya menjelaskan asal-usul “DJ Terompet” yang viral, tetapi juga secara lugas memposisikan keberadaan DJ demi menjaga moral dan etika sosial.
Cerita bermula saat Gus Iqdam menjadi bintang tamu podcast. Pertanyaan seputar “kok pengajian Gus Iqdam ada DJ-nya?” langsung menyeruak. Gus Iqdam buru-buru meluruskan, bahwa yang dimaksud bukanlah DJ seperti di diskotek, melainkan “opening” pembukaan majelis yang menggunakan musik terompet khas dengan iringan hadrah. “Bukan ‘horeg’ wudu ‘horeg’ opening, pembukaan,” tegasnya, menekankan perbedaan mendasar dari persepsi awal.
Namun, di balik melodi terompet itu, tersembunyi problematika yang lebih besar. Sekitar tahun 2018, sound horeg tengah menjadi primadona di Kediri, marak digunakan di berbagai acara lapangan, seringkali dilengkapi dengan DJ dan penari berbusana minim.
Praktik ini memicu kegelisahan luar biasa. Tokoh agama, termasuk Gus Iqdam, sangat keberatan. Bukan hanya karena kebisingan, melainkan juga karena penampilan penari yang kurang etis dan sistem tiket masuk yang memungkinkan siapapun, termasuk anak-anak, dengan mudah mengakses tontonan yang tidak pantas.
“Dikhawatirkan anak-anak kecil itu menganggap hal-hal seperti itu tuh menjadi hal yang biasa,” ungkap Gus Iqdam dengan nada prihatin.