MEMO – Kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga bulan Februari 2025 menuai sorotan dari anggota Komisi XI DPR RI, Anis Byarwati. Ia menilai bahwa kinerja APBN perlu ditingkatkan, terlebih penyampaian laporan APBN kali ini mengalami keterlambatan lebih dari sebulan.
“Kondisi keterlambatan ini tentu saja menimbulkan tanda tanya besar di benak masyarakat. Ada apa sebenarnya dengan kondisi APBN Januari 2025?” ujar legislator dari Fraksi PKS DPR RI ini di Jakarta (14/3/2025).
Menurut Anis, pertanyaan publik tersebut akhirnya terjawab dengan terungkapnya fakta bahwa kondisi APBN Januari hingga Februari 2025 tidak seperti biasanya. APBN mengalami kontraksi, baik dari sisi penerimaan maupun belanja negara.
“Sejak awal, Kementerian Keuangan memang harus mencegah pelebaran defisit APBN 2025 dari target yang telah ditetapkan. Hal ini menyusul tren penurunan penerimaan pajak dan belanja negara yang cenderung tinggi, sehingga tidak menambah beban APBN di masa mendatang,” tegasnya.
Politisi dari PKS ini memaparkan bahwa penerimaan perpajakan pada Januari 2025 terdiri dari Penerimaan Pajak sebesar Rp88,89 triliun, atau baru mencapai 4,06 persen dari target, yang berarti mengalami penurunan signifikan sebesar 41,86 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy).
“Sementara itu, Penerimaan Kepabeanan dan Cukai tercatat sebesar Rp26,29 triliun, mencapai 8,72% dari target, namun mengalami peningkatan sebesar 14,75%. Sedangkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) tercatat sebesar Rp42,13 triliun atau 8,2% dari target, mengalami penurunan sebesar 3,03% (yoy), dan Penerimaan Hibah sebesar Rp9,8 miliar,” rinci Anis.
Baca Juga: Menkeu Purbaya Tegas Tolak Lanjutkan 'Burden Sharing' BI, Demi Jaga Independensi Moneter
Dari sisi pengeluaran, hingga Januari 2025, belanja Pemerintah Pusat mencapai Rp86,04 triliun. Angka ini menunjukkan penurunan sebesar 10,75 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya (yoy).
Belanja tersebut terdiri dari realisasi Belanja Kementerian/Lembaga (K/L) sebesar Rp24,38 triliun atau turun sebesar 45,5 persen, dan realisasi Belanja Non-K/L sebesar Rp61,66 triliun yang meningkat sebesar 19,43% (yoy). Sedangkan belanja melalui Transfer ke Daerah (TKD) mencapai Rp94,73 triliun.
Legislator perempuan dari PKS ini menyoroti bahwa posisi belanja yang lebih besar daripada pendapatan mengakibatkan APBN Januari 2025 mengalami defisit. Defisit anggaran pada Januari 2025 tercatat sebesar Rp23,5 triliun atau 0,10 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
“Posisi ini berbalik jika dibandingkan dengan Januari 2024, di mana APBN mengalami surplus sebesar Rp35,1 triliun atau 0,16 persen terhadap PDB. Kondisi ini merupakan kali pertama APBN mengalami defisit lagi pada bulan Januari. Pasalnya, pada tahun 2022 hingga 2024, APBN masih mencatatkan surplus pada bulan pertama,” jelasnya.
Dikatakan bahwa angka defisit ini kemudian menyebabkan pembiayaan anggaran pada Januari 2025 tercatat sebesar Rp154 triliun, meningkat sebesar 43,5 persen dari realisasi pembiayaan anggaran Januari 2024 yang sebesar Rp107,3 triliun.
Keseimbangan primer APBN Januari 2025 tercatat sebesar Rp10,61 triliun. Jumlah ini turun drastis sebesar 83,7 persen (yoy) dari posisi keseimbangan primer Januari 2024 yang mencapai Rp65,25 triliun.
Anis mengingatkan bahwa meskipun kinerja APBN hingga Januari 2025 masih berada dalam kerangka APBN 2025, tekanan terhadap APBN di awal tahun ini harus tetap diwaspadai. “Beberapa kebijakan seperti Coretax dan kebijakan terhadap PPN diduga mempengaruhi kinerja APBN,” ujarnya.
“Oleh sebab itu, Kementerian Keuangan dan kementerian terkait perlu lebih waspada dan berhati-hati, khususnya dalam merumuskan kebijakan yang memberikan dampak terhadap kondisi perekonomian,” pungkas Anis.












