Oleh: Prawoto Sadewo, S.Sos
Ketua SMSI Blitar Raya / Wartawan memo.co.id
Tepat di usia ke-80 tahun, Tentara Nasional Indonesia (TNI) kembali memperingati hari lahirnya sebagai penjaga kedaulatan bangsa. Sebuah perjalanan panjang yang lahir dari rahim perjuangan, dari keringat, darah, dan pengorbanan para pejuang yang berjuang tanpa pamrih demi tegaknya Merah Putih.
Dalam momen bersejarah ini, refleksi atas nilai-nilai perjuangan Panglima Besar Jenderal Sudirman menjadi sangat relevan. Beliau bukan hanya seorang jenderal perang, tetapi juga simbol kesederhanaan, keteguhan iman, dan kepemimpinan sejati.
Baca Juga: Limbah Peternakan Sapi Cemari Sungai di Blitar Selatan, DPRD Desak Pemerintah Desa Lebih Peka
Lahir di Desa Bodas Karangjati, Rembang, Kabupaten Purbalingga, pada 24 Januari 1916, Sudirman kecil berasal dari keluarga sederhana. Karena keterbatasan ekonomi, orang tuanya menitipkan Sudirman kepada pamannya, Raden Cokrosuwiryo — seorang pejabat setingkat camat. Dari sinilah awal terbentuknya karakter disiplin dan religius seorang Sudirman muda.
Menempuh pendidikan di Hollandsch Inlandsche School (HIS) dan sekolah ULO, Sudirman aktif dalam Kepanduan Muhammadiyah Hizbul Wathan, di mana ia kemudian mendapat gelar kehormatan Bapak Pandu Hizbul Wathan karena dedikasi dan jiwa kepemimpinannya.
Baca Juga: Dari Kandang Sapi ke Sungai Limbah: Jejak Aneh Sertifikat 21 Hektar di Gunung Gede
Karier militernya menanjak cepat. Panglima Sudirman memimpin Perang Gerilya Ambarawa selama tujuh bulan, bahkan dalam kondisi mengidap penyakit TBC akut. Dengan tubuh lemah, ia tetap memimpin pasukan, ditandu dari hutan ke hutan, mengatur strategi perang mempertahankan kemerdekaan. Ia menjadi Panglima Besar TNI pertama yang diangkat langsung oleh Presiden Soekarno dan menerima pangkat Jenderal Bintang Lima.
Namun di balik gelar besar itu, Sudirman tetap hidup sederhana. Ia menikah dengan Alfiah, putri pengusaha batik asal Cilacap, dan menabung sedikit demi sedikit demi cita-cita memiliki rumah. Sayang, takdir berkata lain — sang Panglima wafat pada usia muda, 34 tahun, pada 29 Januari 1950.












