Example floating
Example floating
Jatim

Harapan Nyaris Padam: Sentuhan Kang Dedi dan Asa Baru Sang Gadis Cirebon yang Terjepit Kemiskinan

A. Daroini
×

Harapan Nyaris Padam: Sentuhan Kang Dedi dan Asa Baru Sang Gadis Cirebon yang Terjepit Kemiskinan

Sebarkan artikel ini
Ketika Harapan Nyaris Padam, Sentuhan Kang Dedi dan Asa Baru Sang Gadis Cirebon yang Terjepit Kemiskinan

Cirebon, Memo |

Kisah pilu seorang remaja putri dari Kota Cirebon nyaris saja berakhir tragis. Terjepit dalam lingkaran kemiskinan struktural yang menghimpit impiannya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA, ia nekat melakukan percobaan bunuh diri dengan menenggak cairan pembersih lantai.

Baca Juga: Intrik Nikel di Jantung Raja Ampat: Ketika Pak Kyai, Naga 9 dan Asing Bermain

Peristiwa memilukan ini, yang seharusnya hanya menjadi catatan statistik, justru menyita perhatian publik dan, lebih penting lagi, mengetuk hati seorang tokoh yang dikenal dekat dengan rakyat: Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi.

Kang Dedi, dengan karakter khasnya yang senantiasa tanggap terhadap jeritan hati masyarakat, langsung bergerak. Melalui unggahan di Instagram pribadinya (@dedimulyadi71), ia mengungkapkan keprihatinannya yang mendalam.

Baca Juga: PBNU Kecam Aksi Ulama Muda Gus Elham Cium Anak-anak, Minta Aparat Tindak Tegas

“Ada berita yang sangat memprihatinkan hari ini. Seorang anak masuk rumah sakit karena keracunan setelah meminum cairan pembersih lantai. Hal itu disebabkan karena kekecewaannya terhadap keputusan orang tuanya yang tidak mampu meneruskan pendidikannya ke SMA karena faktor biaya,” tulis Kang Dedi, menyuarakan empati yang tulus.

Remaja yang tak disebutkan namanya ini diketahui merupakan alumni pesantren dan sempat mencicipi bangku SMA Negeri Tengah Tani, Kota Cirebon, pada semester pertama tahun ajaran 2024.

Baca Juga: Lumajang Ditetapkan BMKG Siaga 1 Ancaman La Niña dan Badai Mirip Seroja

Namun, himpitan ekonomi yang mencekik membuat keluarganya tak mampu menyediakan seragam baru. Ia terpaksa mengenakan seragam lama dari madrasah tsanawiyah (MTs) yang dimodifikasi seadanya agar menyerupai seragam SMA.

Kondisi seragam yang tak selayaknya, meski terlihat sepele, menjadi beban psikologis yang berat dan simbol nyata dari ketidakmampuan ekonomi yang ia hadapi.

Akibat kondisi tersebut, sang gadis tak dapat melanjutkan sekolah setelah Desember 2024. Rencana untuk kembali menempuh pendidikan di tahun ajaran baru pun kembali terganjal masalah biaya.

Ironisnya, meskipun biaya sekolah di SMA negeri telah ditanggung negara, kebutuhan pendukung seperti seragam, buku, dan biaya transportasi sehari-hari tetap menjadi beban berat yang tak tertanggulangi bagi keluarga buruh serabutan itu.

Mendengar jerit hati yang nyaris tak terdengar ini, Kang Dedi tak tinggal diam. Ia segera mengutus ajudannya untuk menemui langsung keluarga dan gadis malang itu.

Tindakan nyata tak hanya berhenti di situ; Kang Dedi secara pribadi menanggung seluruh biaya pengobatan sang gadis di rumah sakit. “Pertama, rumah sakitnya sudah saya selesaikan seluruh biayanya,” tegasnya, seperti dilansir dari baliexpress.

Namun, kepedulian Kang Dedi jauh melampaui sekadar biaya pengobatan. Ia mengumumkan sebuah langkah transformatif:

“Kedua, mulai besok anak itu menjadi anak asuh saya dan berhak untuk sekolah di sekolah negeri. Tentunya masuk sekolah negerinya harus melalui prosedur yang sama seperti anak-anak lainnya. Tapi saya bertanggung jawab penuh terhadap pendidikannya sampai tamat SMA.”

Sebuah janji yang menghidupkan kembali nyala asa yang nyaris padam.

Lebih dari itu, Kang Dedi menyatakan komitmennya untuk terus mendukung gadis tersebut jika ia menunjukkan prestasi akademik dan memiliki keinginan untuk melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Ini adalah investasi pada masa depan, sebuah kepercayaan pada potensi seorang anak yang sempat terpinggirkan.

Di akhir pesannya, Kang Dedi tak lupa mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bergotong royong, saling membantu, agar tidak ada lagi anak Indonesia yang harus putus sekolah hanya karena masalah ekonomi.

“Semoga peristiwa serupa tidak terjadi lagi pada siapapun. Mari anak-anak kita sekolah minimal sampai SMA, dan mari kita gotong royong bersama agar orang yang miskin tetap bisa sekolah,” tutupnya, menyerukan kepedulian sosial yang lebih luas.

Kisah ini menjadi pengingat bahwa di balik setiap data kemiskinan, ada kisah manusia yang menunggu uluran tangan dan harapan.