Jakarta, Memo — Aksi premanisme yang mengatasnamakan organisasi masyarakat (ormas) makin meresahkan masyarakat. Sejumlah warga dan pelaku usaha di berbagai daerah mengeluhkan intimidasi, pemalakan, hingga kekerasan fisik yang dilakukan oleh oknum-oknum yang menggunakan atribut ormas, namun menjalankan praktik layaknya geng kriminal.
Dalam beberapa bulan terakhir, peningkatan aktivitas kelompok ormas tak resmi terlihat di sejumlah wilayah seperti Jakarta, Bekasi, Karawang, hingga kota-kota di Jawa Barat dan Banten. Kelompok ini kerap mendatangi toko, pasar, atau proyek konstruksi untuk menagih “uang keamanan” dengan dalih kontribusi lingkungan atau iuran sukarela. Namun penolakan dari warga sering kali berujung intimidasi bahkan kekerasan fisik.
“Saya sudah beberapa kali didatangi. Kalau tidak kasih uang, saya diteriaki dan diludahi,” ujar Arif, seorang pedagang di kawasan Tanah Abang. “Mereka bawa-bawa nama ormas, pakai seragam, tapi kerjaannya cuma nagih uang,” tambahnya.
Aksi semacam ini menunjukkan pola kerja yang terstruktur. Kelompok ormas ini tampak memiliki sistem komando dan wilayah operasi tertentu. Mereka kerap beroperasi di titik-titik strategis: pasar tradisional, jalan raya, kawasan industri, dan proyek-proyek pembangunan. Dalam beberapa kasus, sopir truk barang dipaksa membayar jatah jalan, sementara pedagang di pasar diminta iuran rutin tiap minggu.
Dampak sosial dan ekonomi akibat aksi premanisme ini sangat signifikan. Banyak pelaku usaha kecil dan menengah mengaku mengalami kerugian karena harus menyisihkan penghasilan mereka untuk membayar “setoran”. Beberapa investor pun mengurungkan niat menanamkan modal karena tidak adanya kepastian keamanan di lapangan.
Seorang pelaku industri properti menyebut, gangguan dari kelompok tak resmi ini “cukup terorganisir”. Mereka sering memaksa ikut serta dalam proyek-proyek pembangunan dengan dalih pengamanan, dan tidak jarang menuntut bagian dari keuntungan. “Jika tidak diberi ruang, mereka bisa memicu konflik,” ujar pengusaha tersebut yang enggan disebut namanya.
Ketua asosiasi kawasan industri menyatakan bahwa tindakan semacam ini dapat menghambat pertumbuhan ekonomi daerah. “Investasi sangat bergantung pada keamanan. Bila pelaku usaha harus berhadapan dengan pungutan liar berkedok ormas, iklim usaha akan mati pelan-pelan,” katanya.