KEDIRI, memo.co.id – Di Desa Manyaran, Kabupaten Kediri, sebuah jalan kecil bernama Teratai telah lama menjadi lebih dari sekadar jalur penghubung. Ia adalah nadi kehidupan, jalur vital yang menghubungkan Dusun Kasihan dengan hiruk pikuk Kota Kediri.
Namun, pada Senin (16/6/2025), nadi itu terputus. Proyek ambisius Jalan Tol Kediri–Tulungagung membentang, dan penutupan Jalan Teratai pun tak terhindarkan. Akibatnya, puluhan warga turun ke jalan, menyuarakan protes yang resonansinya terasa hingga ke pusat kota.
Spanduk-spanduk sederhana yang dibentangkan warga memuat keluh kesah yang mendalam. Mereka bukan hanya memprotes penutupan fisik sebuah jalan, melainkan dampak berantai yang menjalar ke setiap sendi kehidupan. Akses ke Kota Kediri yang semula singkat, kini harus ditempuh dengan memutar.
Suparmin, Koordinator Aksi, tak bisa menyembunyikan kekecewaannya. “Penutupan ini sangat merugikan. Warung-warung sepi, akses anak ke sekolah jadi jauh. Biasanya cukup 1 liter bensin, sekarang bisa habis 1,5 liter karena harus memutar lebih jauh,” ujarnya, suaranya sarat keprihatinan.
Sebuah liter bensin tambahan mungkin terdengar sepele, namun bagi kantong-kantong masyarakat, itu adalah biaya ekstra yang tak terduga, menggerogoti pendapatan harian.
Anak-anak sekolah yang biasanya bisa melenggang cepat ke sekolah, kini harus menempuh perjalanan yang lebih jauh, memakan waktu dan menguras energi. Ekonomi lokal, yang sebagian besar bergantung pada mobilitas warga menuju kota, juga lesu.
Warung-warung yang dulunya ramai, kini sepi pembeli karena akses yang terhambat. Ini adalah gambaran nyata bagaimana pembangunan infrastruktur, jika tidak diimbangi dengan solusi yang matang, dapat menjadi pisau bermata dua.