Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan sedang menjadi sorotan publik terkait penahanan barang kiriman impor. Hal ini menimbulkan berbagai protes karena banyak pemilik barang enggan membayar tagihan pajak impor yang dikenakan berlipat-lipat dari harga aslinya. Namun, bagaimana nasib barang-barang ini jika tidak diambil oleh pemiliknya?
Penyelesaian dan Nasib Barang Kiriman Impor yang Tidak Diambil
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan sedang menjadi sorotan publik karena banyaknya protes terkait barang kiriman dari luar negeri atau impor yang ditahan. Beberapa contoh yang viral adalah alat pembelajaran untuk Sekolah Luar Biasa (SLB), peralatan olahraga untuk atlet paralayang, dan sepasang sepatu senilai Rp10 juta, serta mainan robot Megatron milik seorang influencer.
Barang-barang tersebut tidak dapat diserahkan karena pemiliknya enggan membayar tagihan pajak impor yang jumlahnya berkali-kali lipat dari harga aslinya.
Namun, apa yang terjadi dengan barang-barang kiriman atau impor tersebut jika tidak diambil oleh pemiliknya?
Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 178 Tahun 2019 mengenai Penyelesaian Terhadap Barang yang Dinyatakan Tidak Dikuasai, Barang yang Dikuasai Negara, dan Barang yang Menjadi Milik Negara.
PMK tersebut menjelaskan dua alasan utama mengapa barang bisa ditahan. Pertama, barang tidak sesuai dengan izin impor atau barang terlarang. Kedua, barang dikembalikan karena alamat penerima tidak sesuai dengan yang terdaftar sehingga harus dikembalikan ke pihak berwenang di bidang kepabeanan.
“Pengiriman barang melalui penyelenggara pos yang ditunjuk, ditolak oleh penerima karena alamat atau orang yang dituju tidak tepat dan tidak dapat dikembalikan kepada pengirim di luar wilayah pabean,” tulis Pasal 2 Ayat 1c dari peraturan tersebut yang dikutip pada Kamis (23/5).
Prosedur, Penyebab Penahanan, dan Akibat Hukum Menurut Regulasi Terbaru
Dalam ketentuan ini diatur bahwa penyelesaian terhadap barang kiriman bisa dilakukan setelah melewati proses yang berakhir dengan status Barang Milik Negara (BMN).
- Barang kiriman yang ditolak oleh penerima dan tidak dapat dikembalikan ke pengirim akan ditetapkan sebagai Barang Tidak Dikuasai (BTD) dalam waktu 30 hari sejak dokumen diajukan, dan kemudian barang akan disimpan di Tempat Penimbunan Pabean (TPP).
- Jika barang tersebut tetap berada di TPP selama 60 hari tanpa diurus, maka akan ditetapkan sebagai Barang Milik Negara (BMN).
- Barang kiriman yang ditahan karena membutuhkan izin impor (terlarang) dan tidak diinformasikan dengan benar, akan ditetapkan sebagai Barang Dikuasai Negara (BDN). Barang BDN tersebut akan menjadi Barang Milik Negara (BMN) jika tidak ada indikasi tindak pidana.
Setelah menjadi BMN, penyelesaian atas barang kiriman tersebut dapat dilakukan secara umum melalui:
- Lelang, jika memiliki nilai ekonomis dan tidak melanggar perundang-undangan.
- Penetapan status penggunaan, untuk mendukung tugas Kementerian/Lembaga terkait.
- Hibah, untuk kepentingan Pemerintah Daerah, kepentingan sosial, budaya, agama, kemanusiaan, dengan memperhatikan kesehatan, keamanan, keselamatan, lingkungan, dan moral bangsa (K3LM).
- Pemusnahan, jika tidak dapat digunakan, dimanfaatkan, dihibahkan, tidak memiliki nilai ekonomis, dilarang ekspor/impor, atau harus dimusnahkan berdasarkan aturan yang berlaku.
Penyelesaian Barang Kiriman Impor: Prosedur, Penyebab Penahanan, dan Akibatnya
Proses penyelesaian atas barang kiriman impor yang tidak diambil oleh pemiliknya mengikuti ketatnya regulasi dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 178 Tahun 2019. Barang yang tidak dapat dikembalikan ke pengirim karena alasan seperti izin impor yang tidak sesuai atau alamat penerima yang salah dapat ditetapkan sebagai Barang Tidak Dikuasai (BTD) atau Barang Dikuasai Negara (BDN).
Setelah melewati proses tertentu, barang-barang ini bisa menjadi Barang Milik Negara (BMN), yang selanjutnya dapat diatur nasibnya melalui lelang, hibah, atau bahkan pemusnahan sesuai ketentuan yang berlaku. Dengan demikian, regulasi ini tidak hanya mengatur tetapi juga menentukan nasib barang-barang kiriman impor yang tidak diambil secara jelas dan adil, mempertimbangkan berbagai aspek termasuk keamanan, lingkungan, dan moralitas.