Memo.co.id | Adab dan Etika Sopan Santun Ummat Islam Terhadap Non-Muslim|
Islam merupakan agama yang universal dan lengkap (syamil). Ajaran-ajarannya yang bersumber dari Alquran dan Hadits telah dibekali dengan kompatibilitas yang baik, sehingga mampu menyesuaikan dan menyerasikan keadaan seiring perkembangan zaman.
Tidak hanya itu, Allah SWT juga mengirim utusan-Nya yang bertugas menyebarkan dan menjadi contoh dari muslim sejati, yakni Baginda Muhammad SAW. Beliau merupakan refleksi dan contoh yang sempurna dari nilai-nilai ajaran Islam. Tidak hanya menjadi teladan bagi umat Islam, tetapi juga bagi seluruh umat manusia, menebar kenyamanan bagi seluruh makhluk hidup muslim maupun kafir. Kehadirannya menjadi rahmat dan nikmat bagi alam semesta (QS Al-Anbiya: 107).
Sejak dahulu, hidup berdampingan dan beriteraksi dengan orang yang berbeda agama kerap kali ditemui. Bahkan, pernah seorang Yahudi meminta kepada Rasulullah SAW –menawarkan jasa — untuk mengairi kebunnya (al-Musaaqoh). Lalu, Rasulullah menyetujuinya dan membagi dua hasil kebunnya dengan mereka sebagai bayarannya (HR. Abu Daud, 157/3).
Ber-muamalah dengan non-Muslim bukanlah sebuah pantangan dalam Islam
Ber-muamalah (menjalin hubungan sosial dengan non-Muslim) bukanlah sebuah pantangan dalam Islam, walaupun dalam konteks muamalah tertentu, ada ulama yang berpendapat makruh. “Hubungan keagamaan yang ada, tak lantas menghilangkan hubungan kemanusiaan’ yang mendasari lahirnya kehidupan di dunia ini,” tulis Prof Quraish Shihab dalam bukunya, Wasatiyyah.
Dalam firman Allah SWT An-Nisa: 105 ditegaskan: “Sesungguhnya Allah telah menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) dengan hak (benar) supaya engkau mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah perlihatkan kepadamu dan janganlah engkau menjadi penantang terhadap orang yang tidak bersalah karena (ulah) para penghianat”
Ada sebuah riwayat yg menjadi asbabun nuzul (sebab turunnya) ayat tersebut. Seorang muslim melemparkan tuduhan pencurian terhadap seorang Yahudi, padahal justru dialah pencurinya. Rasulullah SAW yang dimintai keputusan ketika itu belum mengetahui duduk persoalannya cenderung untuk membenarkan sang muslim tersebut.
Tentu, kecenderungan yg lahir dari sangka baik beliau kepada umatnya yang muslim. Maka turunlah ayat tersebut sebagai isyarat teguran kepada Rasulullah SAW, sebab kecenderungan hati beliau dapat mengantar pada ketidakadilan terhadap non-Muslim.
Islam menjunjung tinggi hak dan keadilan kepada seluruh manusia Muslim maupun non-Muslim
Kejadian pada ayat di atas sangat jelas mengajarkan kepada kita bahwa Islam menjunjung tinggi hak dan keadilan kepada seluruh manusia Muslim maupun non-Muslim. Bahwa kecenderungan hati yang alamiah kerap muncul karena faktor kedekatan agama. Tapi seringkali — secara tidak sadar — justru membuat diskriminatif dalam bersikap dan bertindak.
Tiga Etika Untuk Melanggengkan Hubungan Harmonis Anatara Ummat Beragama
Pakar Tafsir, Prof Quraish Shihab dalam bukunya, Wasatiyyah memaparkan secara luas tentang hubungan sosial dalam masyarakat dengan berbagai agama dan kepercayaan. Setidaknya penulis dapat menyerap bahwa ada tiga petunjuk dan etika yang Allah SWT. tegaskan demi melanggengkan hubungan timbal balik yang harmonis antara umat beragama :
Pertama, Tidak memaki sesembahan atau Tuhan agama lain.
“Janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, maka (akibatnya) mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (QS. Al-An’am : 108)
Al-Imam Al-Baidhowi dalam Tafsir Anwar At-Tanzil wa Asrooru At-Ta’wil mengatakan bahwa janganlah kita menghina atau menyebut kejelekan Tuhan non-Muslim, karena akibatnya akan berbalik hinaan yang lebih parah akibat ketidaktahuan mereka terhadap Allah.