Perubahan mekanisme pencairan saldo Jaminan Hari Tua (JHT) melalui Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 menimbulkan polemik di masyarakat. Guru Besar Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany mengatakan, terdapat kesalahan persepsi di masyarakat mengenai program yang dijalankan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan (BPJamsostek) tersebut.
Menurutnya, program ini disusun dengan mempertimbangkan rendahnya kesadaran masyarakat pekerja dalam menyisihkan penghasilannya sebagai jaring pengaman sosial pada masa mendatang. Padahal, negara-negara di seluruh dunia mewajibkan para pekerja menabung untuk hari tua.
“Di seluruh dunia semua negara mewajibkan pekerjanya untuk nabung untuk hari tua. Ada yang bentuk uang pensiun dan jaminan hari tua,” ujarnya dalam keterangannya, Jumat (25/2).
Hasbullah memandang, sudah selayaknya saldo JHT dicairkan ketika pekerja berusia tua atau sudah tidak lagi aktif di dunia kerja, sehingga memberikan jaminan kelayakan hidup. “Padahal aturan Menaker itu sudah sangat bagus dan sesuai. Jaminan sosial dan manfaat jaminan sosial hanya dapat dicairkan ketika tua,” tuturnya.
Terkait protes mekanisme perubahan JHT karena kecemasan nasib para korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), Hasbullah mengatakan, berdasarkan data KSPI pada tahun lalu terdapat 50.000 pekerja yang terkena PHK. Sementara, Kementerian Ketenagakerjaan memperkirakan pekerja yang terancam PHK mencapai 143.000 orang.
Sementara itu, jumlah peserta JHT pada tahun lalu mencapai 52 juta orang. Artinya, polemik mengenai kekhawatiran perubahan skema pencairan JHT hanya mewakili 0,3 persen peserta di dalam program tersebut.