Jakarta, Memo – Gonjang-ganjing izin penambangan nikel di Raja Ampat, permata tersembunyi Papua Barat Daya, belakangan ini memicu gelombang pertanyaan dan kekhawatiran publik.
Namun, di balik riuhnya perdebatan, terkuak fakta bahwa izin kontroversial untuk PT Gag Nikel sejatinya telah diterbitkan jauh sebelum polemik ini mencuat, tepatnya pada periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo, berlaku sejak 30 November 2017 hingga 30 November 2047.
Ini menjadi sorotan utama Melchias Markus Mekeng, Ketua Fraksi Partai Golkar (FPG) di MPR RI, yang berusaha meluruskan duduk perkara.
Mekeng menegaskan bahwa menyerang Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia secara membabi buta adalah tindakan yang tidak adil. Menurutnya, Bahlil, yang kini menjabat pucuk pimpinan di Kementerian ESDM, hanyalah pihak yang mewarisi konsekuensi dari keputusan masa lalu.
“Tidak ada alasan yang cukup etis jika banyak pihak menyerang Menteri ESDM saat ini Bahlil Lahadalia yang hanya menerima akibat dari kelalaian pihak lain,” ungkap Mekeng di Jakarta, Senin (9/6/2025).
Ia menambahkan, Bahlil tetaplah bertanggung jawab penuh atas tugas dan kewenangan kelembagaan yang ada di pundaknya saat ini.
Mantan Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR ini justru memberikan pujian atas kecepatan respons Bahlil dalam menyikapi isu ini.
Bahlil, yang juga Ketua Umum Partai Golkar, telah menekankan urgensi kepatuhan terhadap Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan seluruh regulasi lingkungan yang berlaku.
Sikap proaktif pemerintah, yang diwakili oleh Menteri ESDM, dalam menjaga keseimbangan antara kepentingan masyarakat lokal dan kelestarian lingkungan patut diapresiasi.
Langkah cepat pemerintah yang melakukan penangguhan aktivitas di beberapa pulau dan menginvestigasi dugaan pelanggaran izin operasional patut mendapatkan dukungan penuh.
“Langkah awal yang sangat responsif terhadap kontroversi tambang nikel di Raja Ampat dengan menangguhkan izin tambang di Gag Island dan beberapa pulau lainnya menyusul protes masyarakat dan tuduhan pelanggaran hukum patut didukung dan dihargai,” papar Mekeng, menggarisbawahi pentingnya responsibilitas dalam tata kelola sumber daya alam.
Lebih jauh, Mekeng, yang pernah memimpin Komisi XI DPR, menawarkan serangkaian rekomendasi strategis untuk menyelesaikan kerumitan polemik ini.
Pertama, ia mendesak dilakukannya evaluasi dan audit menyeluruh terhadap semua izin, terutama yang berlokasi di pulau-pulau kecil yang rentan.
Kedua, perlunya penguatan pengawasan yang melibatkan aktif masyarakat adat dan pemerintah daerah dalam setiap proses perizinan dan operasional tambang.
Ketiga, jika hasil kajian menunjukkan bahwa risiko lingkungan jauh melampaui manfaat ekonomi, maka langkah serius sesuai aturan hukum harus dipertimbangkan.
Keempat, Mekeng menekankan pentingnya rehabilitasi dan kompensasi yang transparan, memastikan dana Corporate Social Responsibility (CSR) benar-benar digunakan untuk memulihkan lingkungan dan mendorong ekonomi masyarakat lokal, dengan audit publik sebagai jaminan akuntabilitas.
“Semua elemen perlu mendukung langkah cepat yang sudah diambil pemerintah dan mengawal proses selanjutnya agar semuanya berjalan transparan dan akuntabel untuk kebaikan masyarakat lokal, bangsa dan negara,” pungkas Mekeng.
Ia berharap badai polemik tambang di Raja Ampat ini segera reda, demi kelangsungan program hilirisasi sektor pertambangan dan energi yang dicanangkan oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, yang pada akhirnya bermuara pada kemajuan bangsa dan kesejahteraan masyarakat, khususnya di Raja Ampat. ( af )