Kedua, hadits ini memberikan berita bila seseorang tidak lagi memiliki rasa malu, maka ia akan melakukan apa saja yang dia kehendaki. Karena rasa malu adalah variabel yang dapat mencegah orang dari maksiat dan kekejian.
Ketiga, dibolehkannya melakukan suatu perbuatan kalau seseorang sudah tidak malu lagi, karena sesuatu yang tidak dilarang oleh syara’ maka hukumnya boleh. Seperti diungkapkan oleh Imam Nawawi kita boleh melakukan apa saja selama tidak ada nash yang melarangnya.
Dari tiga makna ini, para ulama lebih cenderung merujuk pada pengertian yang pertama bahwa hadits ini berbentuk ancaman. Ketika seseorang sudah tidak lagi memiliki rasa malu, maka Rasul mempersilakannya melakukan segala sesuatu sekehendak hati.