Blitar, Memo
Fenomena ‘sound horeg’ yang kerap menuai kontroversi, khususnya di kalangan masyarakat religius, kini mendapat sorotan dari perspektif berbeda. Gus Iqdam, ulama muda yang dikenal dengan gaya dakwahnya yang merakyat, justru memilih jalur persuasif alih-alih konfrontasi.
Dalam sebuah pertemuan unik di Markas Sabilul Taubah, ia menyatukan puluhan pemilik dan operator sound system raksasa dari seluruh Jawa Timur, menawarkan sebuah pandangan baru tentang integritas dan dakwah di era modern.
Kehadiran jajaran ‘juragan sound’ seperti Mas Brewok dari Brewok Audio, Mas David dari Son Bizat, hingga Mas Hendrik dengan Bufago-nya, lengkap dengan deretan truk pengangkut perangkat audio mereka, bukanlah sekadar ajang pamer.
Gus Iqdam menjelaskan bahwa kebersamaan ini berakar pada tradisi ‘khidmah’ (pengabdian) yang sudah lama terjalin di majelisnya. Para pemilik sound system ini datang secara sukarela, menanggung biaya operasional dan karyawan, semata-mata demi mencari keberkahan. Sebuah fakta yang, menurut Gus Iqdam, sering luput dari perhatian para pengkritik.
Antara Kebisingan dan Kebiasaan: Mengurai Polemik Sound Horeg
Polemik seputar sound horeg seringkali mengerucut pada isu kebisingan dan asosiasinya dengan praktik negatif, khususnya penggunaan DJ. Gus Iqdam mengakui bahwa ia sendiri pernah menentang keras kehadiran DJ dalam majelisnya. Namun, alih-alih menghakimi, ia memilih jalur komunikasi.
Diskusi panjang dengan operator sound seperti Mbah Jo BJ Hunter, misalnya, bahkan melahirkan ‘kompromi’ dalam bentuk “DJ Syar’i” – sebuah upaya adaptasi untuk menekan dampak negatif.
“Bukan sekadar suara yang memekakkan telinga,” jelas Gus Iqdam, “tapi juga kebiasaan-kebiasaan destruktif yang sudah menjadi identitas tak terpisahkan dari penggunaan sound horeg.”