Surabaya, Memo
Sidang dengar pendapat Komisi B DPRD Kota Surabaya berubah menjadi panggung sindiran visual saat menampilkan bukti foto dan video terapis berpakaian minim dari media sosial SPA 129, menyindir ketidakmampuan Dinas Kebudayaan, Kepemudaan, Olahraga, dan Pariwisata (Disbudporapar) membedakan spa dan pijat, yang berujung lemahnya pengawasan praktik usaha.
Rapat dengar pendapat (hearing) Komisi B DPRD Kota Surabaya mendadak panas ketika membahas aduan warga terkait aktivitas SPA 129 di Jalan Tidar. Kejutan terjadi saat Komisi B menampilkan tangkapan layar akun media sosial SPA 129 ke layar LCD, yang memperlihatkan konten berupa video dan foto perempuan berpakaian seksi yang diduga kuat sebagai terapis di tempat tersebut.
Aksi menampilkan visual provokatif ini menjadi bentuk teguran keras dari DPRD kepada Dinas Kebudayaan, Kepemudaan, Olahraga, dan Pariwisata (Disbudporapar) Surabaya. Wakil Ketua Komisi B DPRD Surabaya, Mochamad Machmud, menilai dinas terkait gagal memahami perbedaan mendasar antara layanan spa dan pijat tradisional, sehingga pengawasan di lapangan menjadi tidak efektif dan cenderung lemah.
“Tadi sempat ditampilkan itu? Sosial medianya. Ya, karena kan dinas itu tidak mengerti definisi spa sama definisi pijet,” ujar Mochamad Machmud seusai hearing, Selasa (7/6/2025), dengan nada menyindir.
Machmud menjelaskan bahwa berdasarkan laporan masyarakat, SPA 129 di Jalan Tidar hanya mengantongi izin resmi sebagai tempat pijat tradisional, bukan sebagai penyedia layanan spa yang lebih kompleks. Namun, promosi yang gencar dilakukan di media sosial justru menampilkan citra yang jauh berbeda dari izin yang sebenarnya dimiliki.
“Ya, kita tampilkan seperti itu karena memang faktanya di sana ya itu yang dijual,” tegasnya, merujuk pada konten vulgar di media sosial SPA 129.