Sidoarjo, Memo |
Deru kereta api yang memekakkan telinga menjadi lagu pengantar tidur bagi Zafa, bayi berusia 11 bulan. Di bawah kolong jembatan yang dingin dan berdebu, di antara lalu lalang kendaraan yang tak pernah berhenti, bocah itu tumbuh dalam dekapan ayahnya, Akhmad Yusuf Afandi (32).
Bagi Yusuf, setiap tetes susu Zafa adalah harga dari perutnya yang seringkali keroncongan. Ia memilih menahan lapar, mengikis sisa tenaganya sebagai pemulung, demi memastikan sang buah hati tak kekurangan gizi.
Kisah pilu ini bermula dari sebuah kehilangan yang mendalam. Dua bulan setelah melahirkan Zafa, sang istri tercinta menghembuskan napas terakhir.
Duka mendalam berpadu dengan himpitan ekonomi. Tak sanggup lagi membayar kontrakan, Yusuf dan Zafa terpaksa mencari atap di tempat yang tak layak huni, di kolong jembatan Sidoarjo.
Namun, akar kepedihan Yusuf ternyata telah menjalar jauh ke masa lalu. Masa kecilnya adalah serpihan-serpihan kenangan pahit.
Orang tua yang menghilang tanpa jejak, masa kecil di panti asuhan yang sunyi dari kasih sayang keluarga, dan perpisahan dengan saudara-saudara kandung menjadi lukisan buram masa lalunya.
Kolong jembatan, bagi Yusuf, bukanlah awal dari nestapa, melainkan babak baru dalam rentetan ujian hidup yang seolah tak berkesudahan.
Sebuah unggahan sederhana di media sosial, melalui lensa akun Instagram dan TikTok @najib_spbu, menjadi jendela bagi dunia untuk mengintip kehidupan Yusuf dan Zafa.
Video yang menampilkan keduanya di tengah keterbatasan itu dengan cepat menyebar, menyentuh hati warganet yang bersimpati. Di balik viralitas itu, muncul pertanyaan besar: bagaimana nasib mereka setelah sorotan publik menghampiri?
Kain lusuh menjadi dinding rapuh yang melindungi tubuh ringkih Zafa dari terpaan angin malam dan dinginnya aspal. Polusi udara menjadi teman sehari-hari.
Di tengah keterbatasan itu, Zafa tak memiliki mainan layaknya anak seusianya. Senyum dan tawanya hanya terpancing oleh suara bising kereta api yang melintas tepat di samping “rumah” mereka.
Bagi Yusuf, suara itu mungkin adalah pengingat akan kerasnya kehidupan yang harus ia jalani seorang diri demi sang anak.
“Kadang saya dua hari nggak makan. Yang penting bisa belikan susu buat anak saya. Karena itu belum saya rasakan saat saya masih kecil,” lirih Yusuf, seperti dikutip dari Kompas.com.
Kata-kata itu bagai pisau yang mengiris hati, menggambarkan pengorbanan seorang ayah yang berjuang sekuat tenaga untuk memberikan yang terbaik bagi anaknya, sesuatu yang tak pernah ia rasakan di masa lalunya yang kelam.
Kabar tentang Yusuf dan Zafa akhirnya sampai ke telinga pemerintah daerah. Bupati Sidoarjo, Subandi, mengonfirmasi bahwa Yusuf sebenarnya adalah warga Mojokerto, berasal dari Dusun Kepindon, Kecamatan Sooko.