Seruan pembebasan Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar mencuat jelang putusan PN Jakarta Timur hari ini. Kasus kriminalisasi terhadap aktivis hak asasi manusia ini memicu sorotan luas dari berbagai kalangan, menyoroti dugaan ketidakadilan dalam penegakan hukum.
Teriakan Pembebasan Aktivis, Putusan Kontroversial Tiba
Sejumlah masyarakat dari latar belakang yang beragam bersuara menuntut pembebasan Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar menjelang pembacaan putusan yang dijadwalkan hari ini, Senin (8/1), di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur.
Ada penilaian dari Suciwati, istri dari aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir Said Thalib, bahwa kasus Fatia dan Haris di PN Jakarta Timur menyoroti ruang di mana ketidakadilan terlihat.
Suciwati menegaskan bahwa jaksa seharusnya melayani rakyat, bukan malah berpihak kepada kekuasaan. Dia menganggap pengadilan ini seharusnya tidak ada, namun diwujudkan secara paksa—sebuah pengadilan yang menyimpang yang dilakukan oleh aparat negara yang seharusnya bertugas untuk rakyat.
Menurut Suciwati, tidak boleh dibiarkan tindakan menyeret Fatia dan Haris ke persidangan hanya karena membahas hasil riset dan kepentingan publik.
“Kami memiliki hak untuk berpikir kritis. Kami harus bersatu dengan Fatia dan Haris, menuntut kebebasan mereka agar negara ini menunjukkan wajah keadilan yang sejati. Bebaskan Fatia-Haris,” tegas Suciwati.
Maria Catarina Sumarsih, ibunda dari Benardinus Realino Norma Irawan (Wawan), korban Tragedi Semanggi I, menyatakan bahwa publik tidak bisa diam dalam menghadapi kasus yang dihadapi oleh Fatia dan Haris. Menurutnya, ancaman kriminalisasi yang mereka alami bisa menimpa siapa saja di masyarakat.
“Fatia dan Haris menghadapi ancaman penjara. Besok, itu bisa terjadi pada kita. Kami memiliki hak untuk berpikir kritis. Jangan biarkan penguasa memanfaatkan kekuasaannya. Hukum tidak boleh menjadi alat perlindungan bagi penguasa yang hanya mementingkan diri dan serakah,” ucap Sumarsih.
“Jangan biarkan kekayaan alam dirampok oleh mereka yang berkedok. Jangan berdiam diri. Bebaskan Fatia dan Haris,” tambahnya.
Dalam konteks ini, Okky Madasari, seorang novelis, menekankan bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk mengkritisi pejabat publik. Bagi Okky, apa yang dilakukan oleh Fatia dan Haris adalah bagian dari kritik yang tidak seharusnya dihukum.
“Memberikan kritik kepada pejabat publik adalah hak setiap warga negara. Hari ini, Fatia dan Haris dihadapkan pada ancaman penjara, besok, kita semua bisa mengalami hal yang sama. Bebaskan Fatia-Haris. Kami memiliki hak untuk berpikir kritis,” kata Okky.
Kasus Kriminalisasi, Suara Aktivis, dan Keadilan yang Dipertanyakan
Novel Baswedan, mantan penyidik KPK, juga memberikan dukungannya kepada Fatia dan Haris. Ia menyesalkan bahwa kritik dari warga negara dibalas dengan upaya kriminalisasi terhadap pejabat publik.
“Memberikan kritik kepada pejabat publik adalah hak setiap warga. Jika mereka tidak ingin dikritik, sebaiknya mereka tidak menjadi pejabat, karena mereka memiliki tanggung jawab terhadap masyarakat. Oleh karena itu, sangatlah wajar jika mereka dikritik,” ujar Novel.
“Hari ini kita tahu bahwa Haris dan Fatia akan ditahan, dan ini tidak bisa dibiarkan. Kita harus melawannya karena besok, hal yang sama bisa terjadi pada kita. Kami memiliki hak untuk berpikir kritis. Bebaskan Haris dan Fatia,” tambah Novel.
Faisal Basri, seorang ekonom senior, dan Rocky Gerung, seorang akademisi, juga bergabung dalam seruan pembebasan bagi Fatia dan Haris. Bagi mereka, adalah hal yang wajar jika pejabat publik dikritisi karena mereka menjabat berdasarkan persetujuan warga negara.
“Kekuasaan negara dan pejabatnya harus dibatasi dan diawasi agar tidak berubah menjadi monster yang zalim atau leviathan yang tirani, terutama di tengah penggabungan kekuatan negara dan bisnis. Garis antara penguasa dan pengusaha semakin kabur,” ungkap Faisal.
“Oleh karena itu, memberikan kritik kepada pejabat publik adalah hak setiap warga negara. Kehadiran kontrol sosial menjadi semakin penting, karena fungsi check and balances dari DPR hampir hilang,” tambahnya.
“Hari ini, Haris dan Fatia terancam kebebasannya karena mengkritik kekuasaan. Kami memiliki hak untuk berpikir kritis. Bebaskan Haris dan Fatia,” tandas Rocky.
Perkara yang melibatkan Fatia dan Haris berawal dari video yang diunggah melalui kanal YouTube milik Haris. Video tersebut berjudul ‘Ada lord Luhut di balik relasi ekonomi-ops militer Intan Jaya!! Jenderal BIN juga Ada1! >NgeHAMtam’.
Mereka membahas laporan cepat Koalisi Bersihkan Indonesia tentang ‘Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya’ yang menunjukkan peran Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan.
Luhut merasa tersinggung dengan pembahasan tersebut dan melaporkan Fatia dan Haris ke polisi atas dugaan pencemaran nama baik.
Dalam persidangan, beberapa saksi termasuk Luhut memberikan kesaksian di hadapan majelis hakim. Namun, Fatia dan Haris menolak untuk bersaksi satu sama lain.
Pembebasan Fatia dan Haris: Sorotan atas Keadilan, Kritik Terhadap Kekuasaan, dan Batas Kebebasan Berbicara
Pada intinya, suara yang merdeka dan kritis dari berbagai kalangan menuntut keadilan dalam kasus Fatia dan Haris. Sorotan terhadap kriminalisasi terhadap keduanya menggambarkan perlunya pengawasan terhadap kekuasaan publik dan perlindungan terhadap kebebasan berpendapat.
Dukungan dari berbagai tokoh masyarakat, termasuk mantan penyidik KPK dan tokoh akademisi, menandakan pentingnya kontrol sosial dalam menghadapi potensi penyalahgunaan kekuasaan. Kasus ini, yang berawal dari pembahasan publik tentang peran pejabat dalam suatu konteks tertentu, telah memunculkan pertanyaan tentang batas kebebasan berbicara dan konsekuensinya.