Jakarta, Memo.co.id
Hari ini, momentum untuk tidak sekedar merenung, namun meluangkan ide segar, bagaimana di era digital, buku semakin menjadi kebutuhan seluruh masyarakat. BUkan hanya kelompok masyarakat terdidik, namun semua lapisan agar sadar bahwa buku adalah jendela dunia, ilmu dan informasi tanpa hoax.
Di era digital yang makin berkembang, buku telah menjadi komoditi terbesar yang tidak akan ada habisnya. Masyarakat dari beragam usia masih mendatangi toko buku dan membeli buku, meski tiap tahun rata-rata hanya ada 18 ribu judul buku yang dicetak.
Tak sebanding dengan data dari negara berkembang lain. Di Tiongkok, ada 140 ribu judul buku yang dicetak per-tahun. Gelaran Beijing Book Fair pun disebut-sebut sebagai yang terbesar se-Asia, serta menyaingi kiprah Frankfurt Book Fair yang digadang sebagai tertua di dunia.
Hari Buku Nasional pun kerap disandingkan dengan minimnya minat baca di Indonesia yang hanya sebesar 0,01 persen. Data yang lebih mengenaskan, berdasarkan hasil kajian Most Littered Nation In the World 2016, minat baca di Indonesia menduduki peringkat 60 dari 61 negara.
Minimnya minat baca, minimnya buku yang dicetak per tahun, apakah menjadi persoalan utama dari Hari Buku Nasional 2017 ?. Mestinya tidak. Indonesia adalah pasar raksasa digital di Asia. Pasar yang besar dengan pengguna internet dan sosial media besar, belum dimanfaatkan oleh para penggiat buku. ( ed )