Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) meramalkan bahwa bulan Oktober ini Indonesia akan terus diselimuti oleh cuaca panas yang ekstrem. Ini disebabkan oleh dua fenomena iklim utama, El Nino dan Indian Ocean Dipole (IOD), yang saat ini mencapai puncaknya.
Menurut peneliti BRIN, Eddy Hermawan, dampak dari El Nino dan IOD telah mengubah pola musim kemarau hingga memanjang hingga Oktober. Artikel ini akan membahas lebih lanjut tentang dampak dan penyebab dari kemarau ini.
El Nino dan IOD Membuat Kemarau Berkepanjangan yang Mencekam
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memproyeksikan bahwa cuaca panas yang ekstrem akan terus melanda Indonesia pada bulan Oktober ini. Hal ini disebabkan oleh dua fenomena iklim utama, yaitu El Nino dan Indian Ocean Dipole (IOD), yang mencapai puncaknya saat ini.
Menurut Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN, Eddy Hermawan, pada kondisi normal, musim kemarau di Indonesia biasanya terjadi dari bulan Juni hingga Agustus. Namun, karena pengaruh dari El Nino dan IOD, musim kemarau ini telah bergeser hingga bulan Oktober.
Eddy menjelaskan bahwa saat ini El Nino dan IOD berada dalam kondisi positif dan diperkirakan mencapai puncaknya sekitar bulan Oktober 2023. Kedua fenomena ini, yaitu El Nino di Samudera Pasifik dan IOD di sebelah barat Samudera Hindia, telah menyebabkan dampak yang signifikan terutama bagi negara-negara yang berada di sepanjang garis khatulistiwa seperti Indonesia.
Beberapa daerah di Indonesia, seperti Kota Surabaya, Kota Semarang, dan Jakarta, diperkirakan akan mengalami suhu panas ekstrem, terutama pada pertengahan bulan Oktober 2023. Hal ini disebabkan oleh pergerakan uap air dan awan hujan yang tertarik ke arah utara dan barat karena adanya pusat tekanan rendah yang berlokasi di Samudera Pasifik dan sebelah barat Samudera Hindia, di mana El Nino dan IOD berlangsung.
Kondisi ini menyebabkan Indonesia, yang berada di antara kedua fenomena tersebut, mengalami musim kemarau yang cenderung panjang. Eddy berharap bahwa bulan Oktober 2023 akan menjadi akhir dari periode kemarau yang panjang ini, karena El Nino dan IOD diprediksi akan bergerak menuju fase netral pada akhir Februari atau awal Maret 2024.
Sementara itu, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah melaporkan bahwa Cilacap saat ini mengalami kekeringan ekstrem, dengan lebih dari 60 hari tanpa hujan. Beberapa wilayah di Cilacap, seperti Kecamatan Majenang, Wanareja, Cimanggu, Cipari, dan Karangpucung, termasuk dalam kategori kekeringan ekstrem, sementara wilayah lainnya mengalami kekeringan dengan periode 11-60 hari tanpa hujan.
Perubahan Drastis Suhu Udara di Indonesia: Penyebab dan Dampaknya
Fenomena El Nino dan IOD juga memengaruhi suhu udara di berbagai daerah di Indonesia. Menurut BMKG, suhu maksimum harian berkisar antara 35 hingga 36,7 derajat Celsius pada tanggal 2 hingga 3 Oktober 2023. Data BMKG menunjukkan bahwa El Nino berada dalam kondisi moderat (Southern Oscillation Index/SOI -13.6, Indeks NINO 3.4 +1.37), sementara IOD berada dalam kondisi positif (Dipole Mode Index +1.49).
Eddy menjelaskan bahwa peningkatan suhu udara yang signifikan ini dipengaruhi oleh kedua fenomena ini, terutama IOD yang mencapai puncak pada bulan Oktober. Hal ini disebabkan oleh pemanasan yang berasal dari wilayah timur, seperti Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Bali, dan Jawa Timur, termasuk Surabaya.
Tanpa adanya El Nino pun, suhu udara menjadi sangat tinggi di Surabaya, tetapi dengan adanya El Nino dan IOD yang mencapai puncak pada bulan Oktober, suhu udara menjadi lebih panas.