Kabar kurang sedap menghampiri sektor usaha mikro di Indonesia. Data terbaru dari Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2025 mengungkap fakta mencengangkan: semakin sedikit pelaku usaha mikro yang mampu menjangkau pembiayaan dari Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Indeks inklusi LKM tercatat mengalami penurunan signifikan dari 1,35% menjadi hanya 1,20%.
Menanggapi fenomena ini, Sekretaris Jenderal Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo), Edy Misero, menyayangkan kondisi tersebut. Menurutnya, LKM seharusnya menjadi garda terdepan dalam menggerakkan roda ekonomi di tingkat desa hingga kecamatan, dengan fokus utama pada penyaluran pembiayaan kepada pelaku usaha mikro.
“Seharusnya LKM itu tujuannya bagaimana menjadi penggerak ekonomi di level desa hingga kecamatan sebagai lembaga jasa keuangan yang khusus menyasar pembiayaan pelaku usaha mikro,” tegas Edy, Selasa (6/5/2025).
Lebih lanjut, Edy mempertanyakan keseriusan LKM dalam membina dan mempersiapkan pelaku usaha mikro di daerah agar memiliki kualitas dan kompetensi yang mumpuni. “Jadi, lembaga LKM yang ditugaskan untuk menyalurkannya itu juga mesti lebih aktif,” imbuhnya.
Penurunan inklusi LKM ini, diakui Edy, mengindikasikan adanya pergeseran preferensi pelaku usaha mikro terhadap sumber pembiayaan alternatif, seperti peer-to-peer (P2P) lending atau pinjaman online.
“Pertanyaannya bukan apakah pelaku usaha meninggalkan LKM atau tidak, tapi kenapa mereka meninggalkan, kenapa mereka tidak tertarik. Berarti ada sesuatu yang tidak dilakukan pendekatan dari lembaga keuangan mikro itu kepada calon-calon nasabah atau calon-calon usaha mikro itu,” jelas Edy.