Pembangunan moda lintas raya terpadu (LRT) di Pulau Dewata, Bali, menghadapi tantangan unik, di antaranya ketinggian bangunan terbatas dan pentingnya pelestarian pura. Oleh karena itu, pemerintah telah memilih solusi yang inovatif: LRT akan dibangun di bawah permukaan tanah.
Dalam artikel ini, kami akan membahas rencana pembangunan LRT di Bali, termasuk biaya, pembiayaan, dan potensi pendapatan melalui Passenger Service Charge (PSC) serta konsep Transit Oriented Development (TOD). Selamat membaca!
Rencana Ambisius Pembangunan LRT Bali di Bawah Tanah
Badan Perencanaan Nasional (Bappenas) mengungkapkan bahwa moda lintas raya terpadu (LRT) di Bali akan dibangun di bawah permukaan tanah. Menurut Deputi Bidang Sarana dan Prasarana Bappenas, Ervan Maksum, ada banyak peraturan pembangunan yang berlaku di Pulau Dewata.
Oleh karena itu, satu-satunya alternatif untuk membangun LRT adalah dengan cara yang tersembunyi, yaitu di bawah tanah.
Ervan memberikan contoh bahwa di Bali, tidak diperbolehkan untuk membangun bangunan yang lebih tinggi dari pohon kelapa. “Tinggi bangunan tidak boleh melebihi pohon kelapa. Dan jika ingin melebarkan jalan, di Bali juga terdapat banyak pura. Bagaimana solusinya? Kita harus memilih opsi yang menyelam ke dalam tanah (underground),” ujar Ervan saat berbicara dalam Seminar Nasional Strategi Green Financing Sektor Transportasi untuk Meningkatkan Daya Saing Perkeretaapian yang diselenggarakan secara daring pada hari Rabu (20/9).
Selain itu, Ervan juga mengungkapkan bahwa dalam tahap awal proyek ini, LRT akan dibangun sepanjang 5,3 kilometer (km). Jalur sepanjang ini akan menghubungkan Beranda I Gusti Ngurah Rai dengan Extended Terminal serta area parkir di Kuta Central Park.
Ervan menjelaskan bahwa biaya pembangunan LRT di bawah tanah akan tiga kali lipat lebih mahal daripada pembangunan konvensional. Total biaya investasi yang diperlukan mencapai US$596,28 juta atau sekitar Rp9,17 triliun dengan asumsi kurs Rp15.388 per dolar AS.
Biaya dan Sumber Pembiayaan: Tantangan dan Peluang LRT Bali
Untuk pembiayaan proyek ini, Ervan menegaskan bahwa tidak bisa hanya mengandalkan Dirjen Kereta Api, melainkan harus melibatkan berbagai pihak, termasuk BUMN. Dia menyebut bahwa pemerintah daerah perlu mendirikan Special Purpose Vehicle (SPV) antara PT Angkasa Pura I dan BUMD sebagai lembaga pelaksana proyek.
Selain itu, dalam pengembangan LRT, pemerintah juga dapat mempertimbangkan penggunaan pinjaman yang bersyarat kepada pemerintah daerah. Ervan juga menyebut bahwa pemerintah memiliki rencana untuk mengenakan Passenger Service Charge (PSC) kepada penumpang pesawat sebagai sumber pembiayaan LRT. “Kita memiliki potensi besar dalam sektor pariwisata, dengan kunjungan harian mencapai 58 ribu orang. Saya telah berdiskusi dengan Menhub tentang kemungkinan penerapan PSC ini,” ungkap Ervan.
Selain itu, pemerintah juga berencana untuk menerapkan konsep Transit Oriented Development (TOD) yang melibatkan penyewaan, pengelolaan area parkir, dan pemasangan reklame di sekitar bandara. Menurut Ervan, pendapatan yang diperoleh dari PSC dan TOD tersebut dapat digunakan untuk mengembalikan pinjaman yang digunakan dalam proyek LRT ini.
Pembangunan LRT Bali: Solusi Bawah Tanah untuk Meningkatkan Transportasi
Pembangunan LRT di bawah tanah di Bali adalah langkah inovatif untuk meningkatkan sistem transportasi di Pulau Dewata. Meskipun biayanya lebih tinggi, potensi pendapatan dari sektor pariwisata dan PSC menawarkan sumber pembiayaan yang menarik.
Dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk BUMN dan pemerintah daerah, proyek ini memiliki potensi besar untuk mengubah wajah transportasi di Bali dan mendukung pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut.