Kediri, Memo
Rencana penataan dan relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) oleh Pemerintah Kota Kediri menuai beragam reaksi. Salah satunya datang dari pasangan suami istri, Himatun Nikmah dan Umar Juli, yang sudah berjualan sejak 2011 di sisi barat D.I.Y., tepat di dekat menara Masjid Agung Kediri. Mereka setiap hari membuka lapak gorengan dan kopi sachet, bergantian jaga—pagi oleh istri, malam oleh suami.
Baca Juga: Strategi Pemasaran Digital Produk UMKM: Kisah Sukses Digital
Pasangan ini mengaku khawatir jika harus pindah ke lokasi baru seperti Taman Brantas. “Kalau tempat pindah, pelanggan bisa hilang. Geser sedikit saja sudah terasa sepi, apalagi benar-benar pindah,” ungkap Umar.
Selama ini, hasil berjualan cukup untuk mencukupi kebutuhan hidup, bahkan membiayai pendidikan ketiga anak mereka—yang kini duduk di bangku kuliah dan SMK. “Alhamdulillah, dari jualan kami bisa nyekolahin anak-anak. Walaupun tinggal di kota tapi tidak punya rumah, kami masih bisa bertahan sambil ngekos sekeluarga,” ujar Himatun.
Baca Juga: Apa pendapat mereka terkait penggusuran lahan?
Saat ditanya soal sosialisasi penertiban, mereka mengaku tidak ikut hadir. Informasi hanya didapat dari sesama pedagang. Meski begitu, mereka tetap berusaha mengikuti aturan yang ada. “Kami siap patuh kalau memang sudah jadi kebijakan pemerintah. Tapi jangan sampai dibuat ruko kecil. Cukup hamparan terbuka dan gazebo, itu sudah baik,” kata Umar berharap.
Namun, fasilitas di lokasi baru juga menjadi perhatian mereka. “Kalau air dan listrik tidak digratiskan, dan retribusi masih tidak jelas, tentu memberatkan kami. Tapi kalau dibantu, kami bersyukur,” jelasnya.
Baca Juga: Apa Harapan PKL, Penggusuran Lahan Di Jalan Patttimura?
Himatun juga menilai pemerintah tetap perlu memberi ruang bagi PKL agar tetap bisa berjualan tanpa mengganggu ketertiban kota. “Asal tertib dan tidak ngaku-ngaku warga sekitar demi izin, jualan harusnya tetap boleh,” tegasnya.
Mereka juga menyayangkan belum adanya tokoh atau perwakilan PKL yang benar-benar menyuarakan suara pedagang kecil. Jika diberi kesempatan berbicara langsung kepada Wali Kota, Umar dan Himatun ingin menyampaikan harapan sederhana mereka. “Kalau bisa jangan dibangun ruko. Lapak sederhana dan gazebo sudah cukup. Yang penting, tempatnya masih ada pembeli. Soalnya tempat bagus tapi nggak ada pelanggan, tetap saja kami nggak bisa jualan,” pungkas Umar.












