Menteri Investasi dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, mengungkapkan potensi besar Indonesia sebagai produsen kendaraan listrik dalam era energi hijau yang sedang berkembang. Namun, konflik muncul ketika Uni Eropa meragukan upaya hilirisasi nikel Indonesia.
Bagaimana perkembangan selanjutnya dan bagaimana hal ini akan memengaruhi masa depan industri kendaraan listrik Indonesia? Mari kita telusuri dalam artikel ini.
Dibalik Konflik WTO, Indonesia Siap ‘Melejit’ sebagai Produsen Kendaraan Listrik
Menteri Investasi dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, mengungkapkan rahasia skenario Uni Eropa yang sedang mempertimbangkan untuk menggugat Indonesia ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait dengan upaya hilirisasi nikel.
Menurutnya, saat ini dunia sedang mengalihkan fokusnya ke energi hijau dan industri yang ramah lingkungan. Secara bertahap, kita akan melihat pergeseran dari penggunaan sumber energi fosil menuju kendaraan listrik pada tahun 2030.
Bahlil dengan tegas menyatakan bahwa Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi produsen kendaraan listrik. Hal ini dikarenakan sebagian besar komponen mobil listrik terdiri dari 60 persen rangka dan 40 persen baterai.
Dia menjelaskan, “Baterai kendaraan listrik terbuat dari empat bahan utama, yaitu nikel, kobalt, mangan, dan lithium.” Pernyataan ini dia sampaikan dalam sebuah kuliah umum di Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Jawa Tengah, pada hari Selasa (22/8).
Indonesia memiliki tiga dari empat bahan baku tersebut, yaitu nikel, kobalt, dan mangan. Namun, satu-satunya bahan yang tidak dimiliki oleh Indonesia adalah lithium.
Dorongan Presiden Jokowi dan Investasi Global untuk Kendaraan Listrik di Indonesia
Karena itulah, Bahlil menganggap bahwa negara-negara lain, termasuk Uni Eropa, berusaha menghambat perkembangan industri kendaraan listrik di Indonesia. Hal ini adalah salah satu alasan mengapa masalah ini dibawa ke WTO, menurut Bahlil.
Dalam menghadapi tekanan dari Uni Eropa, Bahlil menyatakan bahwa pemerintah Indonesia tidak gentar. Atas perintah Presiden Joko Widodo, Indonesia telah mengajukan banding terkait masalah ini ke WTO.
Gugatan yang diajukan oleh Uni Eropa ke WTO tidak mengurangi semangat Indonesia untuk mengembangkan industri kendaraan listrik. Bahkan, beberapa perusahaan global, seperti LG Energy Solution dari Korea Selatan dan Contemporary Amperex Technology Co. Limited (CATL) dari China, tetap melanjutkan investasinya di Indonesia untuk mengembangkan industri kendaraan listrik.
Bahlil menekankan bahwa hilirisasi ini akan memberikan banyak manfaat bagi Indonesia dengan menciptakan lapangan kerja yang luas. Dia berpendapat bahwa ini merupakan modal penting bagi Indonesia untuk mencapai target pendapatan per kapita sekitar US$10 ribu hingga US$11 ribu dalam 10 tahun mendatang.
Indonesia sebagai Pemain Utama dalam Industri Kendaraan Listrik: Konflik dengan Uni Eropa di WTO
Dalam menghadapi tekanan dari Uni Eropa, Bahlil dan pemerintah Indonesia tetap kuat. Mereka telah mengambil langkah-langkah konkret dengan mengajukan banding ke WTO. Bahkan di tengah ketegangan ini, beberapa perusahaan global seperti LG Energy Solution dari Korea Selatan dan Contemporary Amperex Technology Co. Limited (CATL) dari China tetap melanjutkan investasinya di Indonesia untuk mengembangkan industri kendaraan listrik.
Hilirisasi ini, selain melindungi sumber daya alam Indonesia, juga akan menciptakan lapangan kerja yang luas. Ini adalah langkah penting bagi Indonesia untuk mencapai target pendapatan per kapita yang ambisius dalam 10 tahun mendatang. Dengan perjuangan yang gigih, Indonesia berpotensi menjadi pemain utama dalam industri kendaraan listrik di masa depan.