MEMO – Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, berbagi cerita mengenai asal-usul penggusuran yang terjadi di Bekasi. Kejadian ini bermula dari sengketa tanah yang melibatkan seorang bernama Juju.
Pada tahun 1973, Juju memiliki tanah seluas 3,6 hektar. Namun, pada tahun 1976, dia menjual tanah tersebut kepada Abdul Hamid, yang memiliki bukti transaksi berupa Akta Jual Beli (AJB).
“Namun, dalam proses jual beli ini, Abdul Hamid tidak langsung melakukan balik nama atas tanah tersebut. Baru pada tahun 1982, Juju menjual tanahnya lagi kepada Kayat,” ujar Nusron kepada RRI pada Jumat (7/2/2025).
Menurut Nusron, Kayat yang merasa telah membeli tanah tersebut kemudian mengurus balik nama, sehingga tercatatlah sertifikat atas tanah tersebut. Dari sertifikat yang dimiliki oleh Kayat, muncul sertifikat lainnya dengan nomor 704, 705, 706, dan 707.
Namun, permasalahan semakin rumit ketika Mimi Jamilah, yang merupakan ahli waris dari Abdul Hamid, menggugat Kayat ke Pengadilan Negeri Bekasi. Mimi mengajukan gugatan untuk membatalkan AJB yang pernah dibuat antara Juju dan Kayat.
“Alasannya, sebelumnya sudah ada AJB antara Juju dan ayahnya, Abdul Hamid. Dan ternyata, gugatan Mimi dimenangkan di tingkat pengadilan hingga Mahkamah Agung. Sebuah eksekusi pengadilan pun diterbitkan,” tambahnya.
Terkait dengan permasalahan ini, Nusron berkomitmen untuk mencari solusi dengan melakukan mediasi antara pihak-pihak yang terlibat, terutama untuk memastikan hak-hak warga yang terdampak penggusuran.