Pemetaan partisipatif oleh masyarakat adat di Distrik Konda, Papua Barat Daya, telah memberikan langkah awal yang kuat dalam mengakui dan melestarikan hutan adat mereka. Proses pemetaan ini melibatkan berbagai suku yang hidup berdampingan, seperti Tehit dan Yaben, dalam menentukan batas wilayah dan tempat penting.
Inilah langkah yang penting untuk mendapatkan pengakuan resmi dari pemerintah dan memastikan kelangsungan hidup hutan sebagai sumber kehidupan yang tak ternilai.
Pemetaan Partisipatif: Jejak Langkah Masyarakat Adat Menuju Pengakuan Pemerintah
Tidak pernah terpikirkan oleh mereka untuk meninggalkan hutan yang telah menjadi tempat tinggal dan sumber kebahagiaan sepanjang hidup. Sejak masa kecil hingga dewasa, mereka telah bergantung pada hutan ini.
Masyarakat adat yang tinggal di Distrik Konda, Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat Daya, telah menggantungkan hidup mereka pada alam hutan yang masih terjaga kelestariannya. Di kampung tempat tinggal mereka, hutan yang sejuk dan bebas dari polusi telah memberikan segala yang mereka butuhkan.
Dalam hutan ini, pohon-pohon sagu menjulang tinggi di mana-mana. Mereka juga mengambil berbagai jenis buah seperti cempedak, langsat, pisang, dan durian untuk dimakan. Terkadang, buah-buahan ini juga dijual untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Begitu pula dengan kayu-kayu yang diambil dari hutan.
Hutan bagi mereka seperti seorang orang tua yang memberikan segala yang diperlukan untuk hidup setiap hari. Oleh karena itu, menjaga kelestariannya adalah suatu kewajiban yang tak terelakkan. Hal ini dilakukan demi memastikan kehidupan mereka saat ini serta untuk mewariskan kepada anak cucu di masa depan.
Masyarakat adat di Distrik Konda memiliki tekad yang kuat untuk mewujudkan pengakuan wilayah mereka sebagai hutan adat oleh pemerintah pusat. Langkah pertama yang mereka ambil adalah melakukan pemetaan wilayah secara partisipatif dengan melibatkan semua anggota masyarakat. Proses ini difasilitasi oleh Konservasi Indonesia, sebuah yayasan yang memiliki fokus dalam pelestarian lingkungan.
Menjaga Harmoni dalam Konflik Antar Suku: Solusi Pemetaan Dua Bahasa
Pemetaan partisipatif ini bukanlah hal yang mudah dilakukan. Dimulai dengan mengidentifikasi tempat-tempat penting dalam kehidupan suku-suku yang berbeda, seperti tempat asal mula, tempat keramat, benteng perang, dan kuburan leluhur.
Kemudian, langkah selanjutnya adalah menetapkan lokasi-lokasi penting yang menjadi sumber penghidupan, seperti dusun sagu, hutan berburu, tempat mencari ikan di sungai, dan muara.
Titik-titik penting ini menjadi dasar dalam pembuatan peta wilayah tempat tinggal masing-masing suku di Distrik Konda. Di sana, dua suku besar, yaitu Tehit dan Yaben, hidup berdampingan. Keduanya memiliki subsuku yang tersebar di lima kampung, seperti Manelek, Bariat, Nakna, Konda, dan Wamargege.
Proses pemetaan ini tidak selalu berjalan mulus. Terutama ketika pemetaan mencapai kampung yang dihuni oleh suku-suku yang berbeda. Konflik tenurial hampir saja pecah, mengingat pentingnya tempat-tempat yang diklaim oleh kedua suku tersebut.
Namun, melalui pemahaman dan penghormatan bersama, konflik dapat diatasi dengan menandai tempat penting dengan dua papan bertuliskan dalam bahasa suku Tehit dan Yaben. Hal ini membantu menghindari klaim wilayah yang berpotensi meruncing.
Setelah berbulan-bulan proses pemetaan yang intens, akhirnya pemetaan wilayah di lima kampung di Distrik Konda rampung dilakukan pada Juni 2022. Masyarakat adat kini memiliki peta tertulis yang menggambarkan asal usul identitas mereka, tempat-tempat penting, dan batas wilayah yang telah diakui.
Langkah selanjutnya adalah mendapatkan pengakuan dan legalitas dari Pemerintah Kabupaten Sorong Selatan. Dengan pemetaan partisipatif ini, masyarakat adat memiliki landasan yang kuat untuk mempertahankan dan melestarikan hutan adat mereka, sebagai warisan berharga yang akan diwariskan kepada generasi mendatang.
Seperti kata Kristian Tebhu, Program Manager Konservasi Indonesia Sorong, “Hutan itu adalah ibu bagi masyarakat adat, sehingga harus dijaga kelestariannya.”
Pemetaan Partisipatif Masyarakat Adat di Distrik Konda: Langkah Menuju Pengakuan dan Pelestarian Hutan Adat
Dalam perjalanannya, proses pemetaan partisipatif ini tidak selalu mudah. Konflik tenurial yang hampir pecah antara suku-suku yang mengklaim tempat yang sama berhasil diatasi melalui pemahaman dan penghormatan bersama.
Penggunaan papan tanda dalam bahasa suku Tehit dan Yaben menjadi solusi untuk menghindari klaim wilayah yang berpotensi meruncing. Dalam keseluruhan, pemetaan partisipatif ini menegaskan pentingnya kerjasama dan pengakuan terhadap tempat-tempat penting bagi kelangsungan kehidupan masyarakat adat.