Implementasi Dana Just Energy Transition (JETP) di Indonesia menemui sejumlah tantangan yang perlu diatasi. CSIS dan Tenggara Strategics telah mengidentifikasi perbedaan prioritas antara pemerintah Indonesia dan negara-negara maju dalam International Partners Group (IPG).
Sementara Indonesia lebih fokus pada energi terbarukan baseload seperti hidro dan panas bumi, IPG cenderung mengutamakan sumber energi variabel seperti surya dan angin. Ini tidak hanya memengaruhi kebijakan energi, tetapi juga berdampak pada biaya operasional PLN.
Di sisi lain, IPG berharap dapat menciptakan pasar untuk teknologi terbarukan mereka, namun, masalah pendanaan infrastruktur transmisi masih menjadi tanda tanya. Dalam artikel ini, kami akan merinci lebih lanjut tantangan dan kesimpulan dari analisis JETP.
Analisis Tantangan dan Prioritas JETP: Indonesia vs. Negara Maju IPG
Centre For Strategic and International Studies (CSIS) dan Tenggara Strategics telah menyampaikan bahwa ada beberapa tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan Dana Just Energy Transition (JETP) di Indonesia. JETP adalah komitmen dana sebesar US$20 miliar yang dicanangkan bersama oleh Indonesia dan negara-negara maju dalam International Partners Group (IPG). Kesepakatan ini dihasilkan dalam Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali pada bulan November yang lalu.
Menurut Riyadi Suparno, Direktur Eksekutif Tenggara Strategics, salah satu hambatan utama adalah perbedaan prioritas dalam transisi energi antara pemerintah Indonesia dan negara-negara maju yang tergabung dalam IPG. Pemerintah Indonesia dan perusahaan listrik negara PLN lebih mengutamakan pengembangan sumber energi terbarukan yang bersifat konstan, seperti tenaga hidro dan panas bumi.
Riyadi menjelaskan, “Konsep ‘baseload’ ini mengacu pada jenis pembangkit listrik yang dapat beroperasi secara terus-menerus, seperti tenaga hidro dan geothermal. PLN lebih menyukai sumber energi ini karena mereka dapat beroperasi tanpa henti. Sebaliknya, tenaga surya hanya aktif pada siang hari, dan jika tidak ada penyimpanan daya, maka pada malam hari, tenaga ini tidak dapat digunakan.”
Tantangan Mendesak: Pendanaan Infrastruktur Transmisi
Di sisi lain, negara-negara yang tergabung dalam IPG lebih cenderung memprioritaskan sumber energi terbarukan yang bersifat fluktuatif, seperti tenaga surya dan angin. Dalam laporan CSIS dan Tenggara Strategics, dijelaskan bahwa PLN lebih condong ke arah energi terbarukan konstan karena pembangkit listrik terbarukan yang bersifat fluktuatif, seperti surya dan angin, memaksa PLN untuk menyediakan pembangkit listrik yang dapat berfungsi sebagai “baseload” dan “beban puncak.” Hal ini berpotensi meningkatkan biaya operasional PLN.
Sementara itu, negara-negara IPG memiliki kepentingan untuk menciptakan pasar bagi teknologi energi terbarukan yang mereka miliki, terutama Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Angin (PLTB).
Jika PLTS dan PLTB akan dikembangkan di Indonesia, maka PLN harus melakukan investasi signifikan dalam pembangunan infrastruktur transmisi yang dapat mendukung kedua jenis energi terbarukan yang fluktuatif tersebut.
Namun, hingga saat ini, belum ada tanda-tanda yang jelas bahwa negara-negara IPG tertarik untuk berpartisipasi dalam pendanaan proyek infrastruktur transmisi ini, sesuai dengan dokumen yang diterbitkan.
Tantangan dan Prioritas Energi Terbarukan di Indonesia: Sebuah Analisis JETP
Dalam konteks ini, adalah jelas bahwa koordinasi antara Indonesia dan IPG sangat penting untuk kesuksesan JETP. Perbedaan dalam pemahaman tentang jenis energi terbarukan yang harus diprioritaskan dan kebutuhan infrastruktur transmisi menunjukkan perlunya dialog yang lebih mendalam.
Pemerintah Indonesia perlu mempertimbangkan konsekuensi biaya jangka panjang dalam memilih energi terbarukan yang sesuai, sementara IPG harus lebih terbuka terhadap partisipasi dalam pembangunan infrastruktur. Hanya melalui kerjasama yang kuat dan pengertian bersama, Indonesia dapat mencapai transformasi energi yang berkelanjutan.