Pemerintah Indonesia, melalui Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, sedang mempertimbangkan untuk pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya sebagai bagian dari upaya untuk mengurangi polusi udara di Jakarta. Langkah ini diambil setelah PLTU Suralaya beroperasi selama lebih dari 40 tahun dan berkontribusi signifikan terhadap pencemaran udara yang telah mempengaruhi kesehatan warga Jakarta. Dengan Indeks Kualitas Udara (AQI) yang mencapai angka 170-200, pemerintah berharap penutupan PLTU tersebut dapat menurunkan tingkat polusi dan mengurangi dampak kesehatan masyarakat.
Pemerintah Pertimbangkan Pensiun Dini PLTU Suralaya untuk Kurangi Polusi Udara
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, baru-baru ini mengungkapkan bahwa pemerintah sedang mempertimbangkan untuk menutup Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya lebih awal dari jadwalnya. Langkah ini diambil sebagai upaya untuk mengurangi tingkat polusi udara di Jakarta dan sekitarnya.
Menurut Luhut, PLTU Suralaya telah beroperasi selama lebih dari 40 tahun dan berkontribusi signifikan terhadap pencemaran udara di kawasan tersebut. “Kita akan membahas lebih lanjut mengenai hal ini. PLTU Suralaya sudah cukup tua dan telah banyak menyebabkan polusi. Kita ingin melakukan evaluasi untuk menutupnya jika memungkinkan, guna mengurangi polusi di Jakarta,” jelas Luhut saat menghadiri acara Supply Chain & National Capacity Summit 2024 yang berlangsung di Jakarta Convention Center (JCC) pada hari Rabu (14/08/2024).
Luhut juga mencatat bahwa Indeks Kualitas Udara (AQI) di Jakarta saat ini mencapai angka 170-200, yang menyebabkan banyak warganya menderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Pemerintah telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp38 triliun untuk biaya pengobatan terkait dampak polusi ini, baik melalui BPJS maupun pengeluaran pribadi masyarakat.
“Kami berharap jika PLTU Suralaya ditutup, tingkat AQI bisa turun, mungkin di bawah angka 100,” tambah Luhut.