Santosa menyebut, saat harga CPO dunia anjlok, para petani dalam negeri pun merasakan getirnya bahkan hingga kesulitan dalam membeli pupuk. “Waktu itu saya ingat 2018 itu pembelian buah per kilo (kg) itu di bawah Rp 1.000, mungkin sampai ke tangan petani sesudah dipotong transfer paling tinggal Rp 800, nggak mungkin dia beli pupuk ya kan,” ungkapnya.
Ia menegaskan, pemgusaha sawit tidak mungkin menahan pasokannya ke produsen minyak goreng. Sebab, ketika kelapa sawit memasuki masa panen maka harus sesegera mungkin diolah. “Kalau ada buah kita harus panen. Kalau tidak dipanen kan rusak. Kalau sudah jadi CPO ngga bisa lama-lama juga ditahan,” ucapnya.
Santosa melanjutkan lebih jauh, perusahaan sawit juga tidak bisa menahan produksi. Misalnya, setahun memproduksi sebanyak 50 juta ton. Namun jika tidak diekspor dan hanya memenuhi kebutuhan dalam negeri maka akan terjadi over suplai.
“Kalau kebutuhan bahan bakarnya 9 juta, kemudian bahan makanan, minyak goreng, dan industri hanya 8 juta,16-17 juta, lah yang 30 juta mau diapain? masa kita mau berenang pakai CPO,” pungkasnya.