Saat ini, WHO merekomendasikan agar kadar lemak trans dalam pangan tidak melebihi dua gram per 100 gram total lemak. Namun, dilaporkan bahwa margarin dan mentega memiliki konsentrasi lemak trans yang 10 kali lipat lebih tinggi dari batas rekomendasi WHO.
Konsumsi lemak trans dalam jumlah besar dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan, termasuk peningkatan risiko penyakit jantung, peradangan, kanker, penambahan berat badan, dan obesitas. Selain itu, tingkat konsumsi lemak trans yang tinggi juga dapat berkontribusi terhadap sekitar 500 ribu kematian akibat penyakit jantung koroner secara global setiap tahunnya. Menurut data Institute for Health Metrics and Evaluation pada tahun 2019, angka kematian akibat penyakit jantung koroner di Indonesia mencapai 245.343 penduduk per tahun.
Secara keseluruhan, angka kematian akibat penyakit kardiovaskular di Indonesia mencapai 651.481 penduduk per tahun, yang terdiri atas 331.349 kematian akibat stroke, 245.343 kematian akibat jantung koroner, dan 50.620 kematian akibat hipertensi.
Langkah Proaktif Pemerintah Indonesia dalam Mengurangi Lemak Trans untuk Kesehatan Masyarakat
Dalam upaya menekan angka kematian akibat penyakit jantung di Indonesia, pemerintah bersama Kementerian Kesehatan telah mengambil langkah tegas dengan merumuskan regulasi pelarangan penggunaan lemak trans dalam makanan. Dante Saksono Harbuwono, Wakil Menteri Kesehatan, menegaskan bahwa langkah ini akan diiringi dengan program edukasi, terutama bagi pedagang kecil dan menengah.
Dengan adopsi dua kebijakan pembatasan lemak trans yang disarankan oleh WHO, pemerintah berharap dapat meminimalkan risiko kesehatan yang terkait dengan konsumsi lemak trans berlebihan. Namun, tantangan nyata mungkin terletak pada implementasi dan penegakan regulasi ini, sambil memastikan ketersediaan alternatif yang sehat dan terjangkau bagi konsumen. Ini adalah langkah penting dalam menjaga kesehatan masyarakat Indonesia dan mengurangi beban penyakit jantung di masa depan.