Namun, Aswanto menilai bahwa seharusnya P2P lending mendapat apresiasi atas kemudahan yang mereka berikan dalam memberikan pinjaman pendidikan kepada mahasiswa.
“Secara prinsip, kita seharusnya memberikan apresiasi. Pernyataan KPPU bahwa tingginya suku bunga menunjukkan potensi monopoli adalah bertentangan, karena jika suku bunganya tinggi, mahasiswa tidak akan tertarik karena cerdas. Jika disebut lebih mudah secara administratif, itu masuk akal. Tetapi jika dikatakan sebagai monopoli, itu keliru,” jelas Aswanto.
Menurut Aswanto, tantangan saat ini adalah bagaimana memenuhi kebutuhan masyarakat tanpa membuatnya terlalu rumit. Sebab, banyak bank konvensional yang selektif dalam memberikan pinjaman.
“Kita tidak boleh menganggap bahwa P2P lending memiliki potensi monopoli hanya karena proses kredit di bank konvensional lebih rumit dan selektif,” tambahnya.
Aswanto menekankan bahwa dari segi filosofi, baik dari konstitusi maupun regulasi pemerintah, tidak ada dasar untuk menyatakan bahwa keterlibatan Lembaga Jasa Keuangan dalam membantu mahasiswa yang kesulitan dianggap sebagai monopoli.
“Saya telah memeriksa banyak regulasi terkait hal ini, namun tidak menemukan larangan terhadap hal tersebut,” tambah Aswanto.
Pinjaman Pendidikan P2P Lending: Pandangan Berseberangan antara Aswanto dan KPPU
Dalam kesimpulan, terlihat bahwa pendapat Aswanto dan KPPU saling bertentangan dalam memandang praktik monopoli suku bunga yang dilakukan oleh perusahaan P2P lending, khususnya dalam hal penyaluran pinjaman pendidikan. Aswanto percaya bahwa P2P lending telah diatur oleh regulasi yang berlaku dan memberikan kemudahan akses pinjaman kepada mahasiswa.
Namun, KPPU menganggap bahwa tingginya suku bunga yang ditetapkan oleh perusahaan P2P lending merupakan indikasi praktik monopoli yang dapat merugikan masyarakat. Dengan demikian, pertentangan ini menunjukkan kompleksitas dalam mengatur industri fintech P2P lending dan perlunya kajian mendalam untuk menemukan solusi yang tepat dalam mengatasi masalah ini.