Kemudian, ada 249 orang imigran Rohingya yang mendarat di Kabupaten Bireuen pada akhir pekan yang sama. Mereka saat ini berada di tempat penampungan ikan Lapang Barat Kecamatan Gandapura, Bireuen.
Berdasarkan informasi yang diterima, para imigran tersebut awalnya ditolak oleh masyarakat Jangka Bireuen, lalu mendarat di Aceh Utara.
Namun, mereka kembali mendapat penolakan dari masyarakat Aceh Utara sehingga kapal yang membawa pengungsi itu kembali ke lautan. Akhirnya, pada Minggu (19/11), para imigran Rohingya tersebut mendarat di wilayah Lapang Barat Bireuen.
“Para pengungsi Rohingya saat ini berada di TPI Lapang Barat, mereka sedang ditangani sementara,” ujar Camat Gandapura, Bireuen, Azmi, seperti dilansir dari Antara.
“Mereka sebelumnya ditolak di Jangka Bireuen, kemudian ke Ulee Madon, Aceh Utara, dan akhirnya tiba di sini. Mereka adalah orang yang sama,” tambah Azmi.
Azmi juga menyatakan bahwa saat ini masyarakat setempat telah memberikan bantuan seperti makanan dan pakaian kepada para imigran.
“Namun, masyarakat di sana masih menolak dan kami sudah berkoordinasi dengan UNHCR (Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi) mengenai kedatangan imigran Rohingya ini,” katanya.
Selain 249 orang pengungsi di Bireuen, pada hari yang sama juga ada 220 imigran Rohingya yang mendarat di Gampong Kulee Kecamatan Batee Kabupaten Pidie, Aceh. Namun, hingga saat ini belum ada penanganan khusus terhadap mereka.
Pada hari yang sama juga, ditemukan 35 warga Rohingya di dalam truk setelah melaporkan kedatangan dari kapal di pantai Kecamatan Madat, Kabupaten Aceh Timur.
Sebanyak 35 imigran tersebut telah diamankan dari truk berwarna kuning yang ditutupi terpal tanpa nomor polisi. Mereka terdiri dari 18 pria, 17 wanita, dan anak-anak. Saat ini, mereka telah dievakuasi ke Idi Sport Center Idi Rayeuk, Aceh Timur.
Krisis Pengungsi Rohingya di Aceh: Tuntutan Aksi Cepat PBB dan Peran MUI dalam Solusi Humaniter
Pada bulan November 2023, Aceh menjadi tempat kedatangan berbagai gelombang pengungsi Rohingya. Meskipun ada upaya penampungan dari pemerintah setempat, penolakan dari sebagian masyarakat juga terjadi. MUI menekankan perlunya tindakan cepat PBB dan UNHCR dalam menangani masalah ini untuk mencegah stigmatisasi Pemerintah Indonesia sebagai entitas yang mengabaikan aspek kemanusiaan.
Dalam rangka memberikan solusi, MUI juga meminta perwakilan mereka di Aceh untuk berdialog dengan otoritas setempat guna mencari penyelesaian yang lebih humaniter terkait pendaratan kapal yang membawa imigran Rohingya.
Situasi ini mencerminkan kompleksitas dan urgensi dalam menangani krisis pengungsi di Aceh yang membutuhkan kerjasama lintas sektor untuk mencari solusi yang adil dan berkelanjutan.