Ernest menambahkan bahwa di banyak kasus, pembeli motor sering kali melihat kendaraan tersebut sebagai aset investasi. Mereka berharap bahwa motor yang baru dibeli nantinya dapat dijual kembali dengan harga yang tidak terlalu jauh dari harga beli awal. Namun, menurut Ernest, pendekatan ini berbeda dari negara lain di mana pembelian kendaraan dianggap sebagai biaya operasional. “Setelah dibeli dan dibawa pulang, harga kendaraan biasanya turun sekitar 30 persen dan hal ini adalah hal yang normal,” jelasnya.
Ia menilai pasar di Indonesia memiliki karakteristik yang unik. Pasar sekunder untuk motor konvensional atau berbahan bakar bensin masih cukup baik dengan harga yang tetap stabil. Sebaliknya, pasar sekunder untuk kendaraan listrik belum berkembang dengan baik. Ernest berharap bahwa lembaga-lembaga pembiayaan, perbankan, dan asuransi akan lebih mendukung dalam memberikan pembiayaan untuk kendaraan listrik agar lebih mudah diakses oleh masyarakat.
Lebih jauh, Ernest juga mengungkapkan bahwa penyerapan insentif sebesar Rp7 juta untuk motor listrik pada tahun 2023 tidak memuaskan. Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan persyaratan yang membingungkan masyarakat. Ia mengungkapkan bahwa meskipun persyaratan subsidi tahun ini lebih jelas dan sederhana, kuotanya tetap terbatas. “Namun, dari segi angka, hasilnya sudah cukup baik. AEML berharap agar di pemerintahan mendatang, di bawah kepemimpinan Pak Prabowo dan Pak Gibran, insentif khusus untuk motor listrik ini tetap dilanjutkan karena pelaku usaha sudah terbiasa dengan sistem reimbursement-nya,” tutup Ernest dalam acara media gathering yang berlangsung di The Energy Building, Jakarta Selatan, pada Kamis (22/8).
Peralihan ke Kendaraan Listrik Masih Tertinggal di Indonesia
Asosiasi Ekosistem Mobilitas Listrik (AEML) melaporkan bahwa pembelian mobil listrik di Indonesia menunjukkan perkembangan yang lebih pesat dibandingkan dengan motor listrik. Sekretaris Jenderal AEML, Rian Ernest T, menyoroti bahwa peralihan ke motor listrik masih belum optimal. Salah satu kendala utama adalah belum adanya pasar sekunder yang siap untuk motor listrik, yang membuat calon pembeli ragu. Ernest menambahkan bahwa di banyak negara, kendaraan dianggap sebagai biaya operasional, sehingga harga kendaraan segera menurun setelah pembelian, sesuatu yang masih belum diterima secara luas di Indonesia.