Program bantuan tunai tersebut bertujuan untuk meningkatkan belanja konsumen dan menggerakkan ekonomi yang saat ini tumbuh di bawah 2 persen. Program ini dianggap lebih mengkhawatirkan oleh para ekonom karena seluruh dana bantuan berasal dari utang dan diperkirakan tidak akan memberikan hasil yang signifikan.
“Bantuan dompet digital di Thailand adalah yang paling mengkhawatirkan, karena pemerintah telah menyatakan bahwa ini akan sepenuhnya didanai oleh utang,” kata seorang Ekonom dari Bloomberg Economics bernama Tamara Mast Henderson. “Ini hanya akan memberikan dorongan sementara untuk pertumbuhan. Tidak ada manfaat jangka panjang yang produktif atau struktural bagi ekonomi,” tambahnya.
Investor dan lembaga pemeringkat kredit khawatir bahwa program ini dapat memicu inflasi dan membalikkan kemajuan fiskal yang telah dicapai sejak pandemi. Partai oposisi, para ekonom, dan bank sentral Thailand menentang program tersebut, dengan menyatakan bahwa bantuan yang ditargetkan kepada yang paling membutuhkan akan lebih murah dan lebih efektif.
Menurut Moody’s Investors Service dan S&P Global Ratings, program ini akan menyebabkan peningkatan utang yang berkelanjutan dan perlambatan pertumbuhan ekonomi Thailand. Pelemahan sebesar 6 persen dalam nilai tukar Baht terhadap dolar sejak pemilihan Mei tahun lalu juga memperparah situasi.
Investor tetap memperhatikan perkembangan rencana program makan siang gratis di Indonesia dan bantuan tunai di Thailand, dengan pasar keuangan global mengalami net sell sebesar US$928 juta atau sekitar Rp14,5 triliun (dengan asumsi kurs Rp15.700 per dolar AS) atas obligasi pemerintah kedua negara ini tahun ini.
Kritik dan Keberatan: Dampak Negatif Program Populis Prabowo-Gibran bagi Ekonomi Indonesia dan Thailand