Polusi udara yang merajalela di wilayah Jabodetabek kini menjadi ancaman serius bagi kesehatan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi. Penelitian menunjukkan bahwa kebijakan work from home (WFH) selama pandemi Covid-19, meskipun bermanfaat dalam penanganan virus, dapat memiliki dampak negatif pada sektor-sektor ekonomi yang sangat tergantung pada aktivitas masyarakat.
Para ahli dan pemangku kebijakan mendesak pemerintah untuk mengambil tindakan yang lebih solutif dalam mengatasi masalah ini dan menerapkan kebijakan yang sesuai dengan substansi permasalahan. Kualitas udara yang semakin buruk dan dampaknya yang merugikan kesehatan menjadi perhatian utama, dengan penyakit pernapasan akibat polusi telah menjadi beban berat bagi sistem kesehatan nasional.
Dampak Buruk Kebijakan WFH Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Jakarta
Setelah melewati pandemi Covid-19 yang melanda sistem pernapasan masyarakat, sekarang masalah polusi udara di wilayah Jabodetabek kembali menjadi ancaman serius terhadap kesehatan. Tidak hanya itu, dampaknya juga merambah ke sektor ekonomi, mengingat situasinya saat pandemi yang serupa.
Ahmad Heri Firdaus, seorang peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), menyatakan bahwa tingkat polusi udara yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya memiliki potensi untuk menghambat pertumbuhan ekonomi tahun ini. Menurutnya, dampak ekonomi yang mungkin timbul bisa mencapai 0,02%.
Faktor utama yang memengaruhi potensi perlambatan ekonomi ini adalah kebijakan work from home (WFH) atau bekerja dari rumah yang diberlakukan oleh pemerintah. Heri memproyeksikan bahwa Jakarta sendiri dapat mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,7% akibat kebijakan serupa yang diterapkan selama pandemi Covid-19.
“Karena DKI menjadi barometer nasional, maka akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi,” katanya dalam diskusi virtual pada Senin (28/8/2023).
Menghadapi risiko perlambatan pertumbuhan akibat polusi udara, Heri berpendapat bahwa pemerintah perlu menerapkan kebijakan yang lebih berfokus pada solusi. Beberapa di antaranya adalah mendorong penggunaan transportasi umum, menggalakkan transformasi industri, dan meningkatkan penggunaan energi yang ramah lingkungan.
“Artinya, kebijakan-kebijakan tersebut harus langsung menangani sektor-sektor yang menjadi penyebab masalah polusi,” tegasnya.
Maulana Yusran, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), juga berpendapat serupa. Ia menganggap bahwa jika kebijakan penanganan polusi disamakan dengan pendekatan yang diterapkan dalam penanganan pandemi Covid-19, seperti WFH, maka akan berdampak negatif pada sektor-sektor usaha yang sangat tergantung pada aktivitas masyarakat.
“Industri pariwisata sangat terkait erat dengan sektor lainnya,” ujarnya.
Maulana memperkirakan bahwa penerapan WFH secara serentak akan mengakibatkan penurunan bisnis di sektor perhotelan dan restoran, yang pada gilirannya dapat meningkatkan potensi pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Jika semua orang bekerja dari rumah, bisnis jasa akan terpengaruh, termasuk di sektor restoran,” tambah Maulana.
Maulana juga mendorong pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang sesuai dengan substansi masalah, bukan membatasi aktivitas masyarakat seperti yang dilakukan selama pandemi. Pasalnya, polusi yang disebabkan oleh kendaraan bermotor dan pabrik harus ditangani secara serius.
Polusi Udara Kembali Muncul Sebagai Ancaman di Jabodetabek
Polusi udara bukan lagi masalah yang bisa diabaikan, dan tidak boleh dianggap sepele. Ini dikarenakan risiko terhadap kesehatan dan tingkat kematian akibat polusi sangat tinggi.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat bahwa polusi udara berkontribusi sebanyak 36,6% dalam kasus penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), 32% dalam kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dan pneumonia, 29,7% dalam kasus asma, 12,5% dalam kasus kanker paru-paru, dan 12,2% dalam kasus tuberkulosis.
Data dari Kemenkes juga menunjukkan bahwa penyakit pernapasan merupakan salah satu beban terbesar dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) selama periode 2018-2022. Total dana yang dikeluarkan untuk pengobatan penyakit pernapasan yang disebabkan oleh polusi mencapai lebih dari Rp 17,5 triliun.
Pembagian biaya ini termasuk Rp766 miliar untuk pengobatan kanker paru-paru dengan melibatkan 150.268 peserta BPJS, Rp1,4 triliun untuk pengobatan asma dengan melibatkan 2,1 juta peserta BPJS, Rp1,8 triliun untuk pengobatan PPOK dengan melibatkan 1 juta peserta BPJS, Rp5,2 triliun untuk pengobatan tuberkulosis dengan melibatkan 1,8 juta peserta BPJS, dan Rp8,7 triliun untuk pengobatan pneumonia dari 2,1 juta peserta BPJS.
Berdasarkan laporan IQAir pada pagi Senin (28/8/2023) pukul 05.00 WIB, kualitas udara di Jakarta semakin memburuk dan dinyatakan sebagai tidak sehat. Hal ini terjadi karena indeks kualitas udara AQI US melonjak menjadi 153 dengan polutan utama PM2.5.
Pada hari Sabtu, indeks ini masih berada di angka 124 dan hanya dianggap tidak sehat bagi kelompok sensitif.
Konsentrasi PM2.5 di Jakarta saat ini mencapai 58,5 mikrogram per meter kubik, lebih dari 11,7 kali lipat dari nilai panduan kualitas udara tahunan yang ditetapkan oleh WHO. Particulate Matter (PM2.5) adalah partikel udara dengan ukuran kurang dari atau sama dengan 2,5 µm (mikrometer). WHO menetapkan batas aman untuk PM2.5 hanya sebesar 15 mikrogram per meter kubik.
Dalam peringkat kualitas udara langsung dari beberapa kota di Indonesia pada hari ini, Jakarta berada di peringkat keenam dalam 10 kota dengan kualitas udara yang tidak sehat di Indonesia. Karawang menjadi peringkat terburuk dengan AQI US sebesar 167, diikuti oleh Serang dengan 162, Cileungsir dengan 161, dan Depok juga dengan level 161.
Polusi Udara di Jabodetabek: Ancaman Terhadap Kesehatan dan Ekonomi
Dalam menghadapi polusi udara yang semakin mengkhawatirkan, penting bagi pemerintah dan masyarakat untuk bersatu dalam upaya mengurangi dampak negatifnya. Transformasi industri, penggunaan transportasi umum, dan konversi energi yang ramah lingkungan harus menjadi prioritas.
Kebijakan yang tepat dan berfokus pada sektor-sektor yang menjadi sumber masalah dapat membantu mengatasi ancaman ini. Selain itu, perlu dipahami bahwa polusi udara bukanlah masalah sepele, dengan dampak kesehatan yang signifikan dan beban finansial yang tinggi.
Oleh karena itu, tindakan segera untuk mengurangi polusi udara adalah keharusan agar Jabodetabek bisa mengatasi tantangan ini.
Semua ini mengingat risiko tinggi penyakit pernapasan yang berkaitan dengan polusi udara, dan pentingnya mengalokasikan sumber daya yang memadai untuk penanganan medis. Polusi udara bukan hanya masalah lingkungan, tetapi juga masalah kesehatan dan ekonomi yang harus diatasi secara serius.