Google telah lama menggunakan data lokasi pengguna sebagai salah satu pilar utama dalam pendapatan dari bisnis iklannya. Pada tahun 2022, bisnis iklan berkontribusi sekitar 80% dari total pendapatan tahunan Google, dengan jumlah sekitar US$220 miliar.
Namun, Google belum memberikan informasi mengenai jumlah surat perintah data yang mereka terima dalam beberapa tahun terakhir.
Mereka hanya memberikan data terbaru pada tahun 2021 setelah tekanan dan kritik yang meningkat terhadap praktik pengawasan mereka.
Data yang diberikan menunjukkan bahwa pada tahun 2018, Google menerima 982 surat perintah data, lalu meningkat menjadi 8.396 pada 2019, dan 11.554 pada 2020. Jumlah ini sekitar seperempat dari total tuntutan hukum yang diterima oleh Google.
Saat ini, penegak hukum juga mulai mengarahkan permintaan serupa kepada perusahaan lain seperti Microsoft dan Yahoo.
Dalam beberapa tahun terakhir, jumlah kasus hukum yang melibatkan data geofencing telah meningkat secara signifikan.
Kebijakan Data Lokasi Google: Perlindungan Privasi atau Polemik Legal?
Meskipun langkah Google untuk memberi kontrol lebih pada pengguna atas data lokasi mereka dianggap langkah pro-privasi, banyak pertanyaan hukum yang masih mengemuka. Polemik terkait permintaan data geofencing oleh penegak hukum menimbulkan perdebatan tentang batas legalitas dalam mengungkapkan informasi pribadi pengguna.
Penggunaan surat perintah lokasi dianggap kontroversial karena cenderung mengumpulkan data tidak hanya tentang tersangka tetapi juga sejumlah individu lain yang tak terlibat. Belum adanya kesepakatan di pengadilan mengenai legalitas surat perintah pembatasan wilayah ini memperumit keadaan, yang mungkin akan berujung pada gugatan di Mahkamah Agung AS.