Kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) belum mampu mengatasi fluktuasi harga beras di pasaran. Kebijakan ini dianggap belum efektif karena masih banyak faktor lain yang turut berkontribusi terhadap harga beras yang tinggi di pasaran.
Meskipun pemerintah telah menetapkan kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET), harga beras di pasar konsumen tetap fluktuatif. Hal ini disebabkan oleh proses produksi yang belum efisien dan rantai distribusi yang panjang, sehingga harga beras di pasar cenderung lebih tinggi dari HET.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Mukhammad Faisol Amir mengatakan bahwa jika pelaku usaha dipaksa untuk mengikuti harga HET dengan menekan margin, maka akan menyebabkan tidak ada pelaku pasar yang akan menjual beras domestik.
Hal ini akan berdampak pada sektor hulu dengan berkurangnya pendapatan petani gabah. Dampak selanjutnya adalah peluang terjadinya pasar gelap dan meningkatkan risiko kelangkaan beras. Selain itu, petani lebih memilih menjual beras kepada pihak swasta yang mau membayar lebih mahal dari harga yang sudah ditetapkan.
Menurut Faisol, penetapan harga untuk GKP di tingkat petani dan GKP di tingkat penggilingan yang sebelumnya sudah dilakukan juga tidak menjamin kestabilan harga. Harga pasar selalu lebih tinggi daripada harga yang diatur oleh pemerintah.
Adanya kesenjangan harga ini pada akhirnya membuat petani lebih memilih untuk menjual beras kepada pihak swasta yang mau membayar lebih mahal dari harga yang sudah ditetapkan. Penetapan HET di tingkat penjual juga tidak efektif karena harga jual sudah lebih tinggi dari HET.
Faisol menambahkan bahwa kebijakan HET berpeluang memicu adanya pasar gelap dan meningkatkan risiko kelangkaan beras. Peluang terjadinya percampuran beras kualitas medium dengan beras dengan kualitas lebih rendah pun dapat terjadi. Hal-hal ini tentu akan merugikan konsumen.
Namun, untuk menjaga stabilisasi harga beras di tingkat konsumen, Perum Bulog telah menyalurkan sebanyak 553.643 ton beras melalui program Stabilitas Pasokan Harga Pangan (SPHP).
Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso mengatakan bahwa beras Bulog ini tidak hanya disalurkan ke pasar tradisional, tetapi juga disalurkan melalui ritel modern seperti Transmart, Ramayana Indogrosir, Indomart, dan Alfamart seluruh Indonesia.
Bulog berupaya agar penyaluran SPHP beras dapat menjangkau konsumen secara langsung. Namun, stok beras yang dikuasai Bulog saat ini hanya mencapai 245.223 ton.
Meskipun telah dilakukan upaya untuk menjaga stabilisasi harga beras di tingkat konsumen dengan program Stabilitas Pasokan Harga Pangan (SPHP) yang disalurkan oleh Perum Bulog, namun kebijakan HET dinilai belum cukup efektif.
Dampak dari kebijakan HET yang belum efektif ini berpotensi memicu adanya pasar gelap dan meningkatkan risiko kelangkaan beras serta merugikan petani dan konsumen. Oleh karena itu, diperlukan upaya yang lebih komprehensif dan terintegrasi untuk mengatasi fluktuasi harga beras di pasaran.