Barulah setelahnya, langkah kakinya berlanjut ke Madinah dan Makkah, bertepatan dengan musim haji tahun 598 H (1202 M). Bagi kalangan tasawuf, jelas Al Fayyadl, pemilihan rute tersebut menandakan panggilan spiritual yang hendak dipenuhi Ibnu Arabi.
Dalam arti, sang sufi ingin menziarahi makam para nabi yang telah dijumpainya dalam mimpi. Mimpi itu pun dimaknai sebagai rihlah miraj, yakni persinggahan dari satu langit ke langit lainnya.
Pada langit ketujuh, yang terletak paling atas, dirinya bertemu dengan Nabi Ibrahim. Itulah mengapa, ziarah Ibnu Arabi ke Hebron sebelum ibadah haji secara simbolis dimaknai, dirinya telah sampai di langit teratas. Maka, sampainya di Makkah pun dapat diartikan, dia telah wushul, tiba di hadapan Allah.
Saat di Makkah, Ibnu Arabi mimpi berjumpa dengan Rasulullah SAW. Dalam mimpinya itu, dia dinobatkan sebagai Pewaris Nabi Muhammad sehingga memperoleh haqiqah Muhammadiyah.
Itulah sumber kewalian seseorang sejak zaman azali hingga akhir masa. Nabi SAW disebut mengamanahkan kepada dirinya untuk menyebarluaskan ajaran sunnah yang adalah rahmat bagi seluruh semesta.