Kebijakan bea keluar yang diimplementasikan oleh Pemerintah Indonesia dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 71 Tahun 2023 telah menimbulkan kontroversi, terutama terkait rencana PT Freeport untuk mengajukan banding atas keputusan tersebut.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Febrio Nathan Kacaribu, berbicara tentang dasar hukum dan tujuan di balik kebijakan ini. Artikel ini akan mengulas lebih dalam permasalahan ini, meliputi isu dasar, dampak terhadap industri, serta kesimpulan yang dapat diambil dari perdebatan ini.
Analisis Mendalam: Basis Hukum dan Tujuan di Balik Kebijakan Bea Keluar
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) yang bernama Febrio Nathan Kacaribu telah mengemukakan pendapatnya mengenai niat PT Freeport yang merasa tidak puas dan ingin mengajukan upaya hukum lebih lanjut terhadap keputusan bea keluar yang tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 71 Tahun 2023.
Dalam penjelasannya, Febrio menyatakan bahwa sebenarnya PMK tersebut hanyalah bentuk dukungan dari peraturan yang lebih tinggi, yaitu Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 7 Tahun 2023.
Salah satu permasalahan yang diangkat dalam regulasi tersebut berhubungan dengan kewajiban membayar bea keluar sesuai dengan kemajuan pembangunan pabrik peleburan (smelter).
“Terhubung dengan penjualan produk hasil pengolahan ke negara asing, di mana diperlukan pemenuhan kewajiban bea keluar yang tarifnya berkaitan dengan tingkat perkembangan pembangunan smelter,” ujar Febrio saat memberikan keterangan pers mengenai APBN pada hari Jumat (11/8/2023).
Selain itu, Febrio juga menyebutkan bahwa PMK 71 telah disusun dengan mempertimbangkan ketentuan-ketentuan lain yang ada, terutama terkait dengan isu ini, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 37 Tahun 2018 yang merupakan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).
“Di dalam PP 37, dijelaskan mengenai jenis-jenis penerimaan negara yang mengikuti ketentuan perundang-undangan dan dikenal sebagai prevailing yang memiliki karakter tetap untuk periode tertentu. Oleh karena itu, PMK 71 secara sesuai berada dalam kerangka PP 37 ini, sehingga tidak ada kerancuan dalam hal ini,” tambahnya.
Tentang dampak kebijakan ini terhadap penerimaan bea keluar, Febrio menegaskan bahwa hal tersebut sangat tergantung pada langkah-langkah pengembangan industri yang terdampak dan harga komoditas yang berlaku. Ia juga menyoroti bahwa tujuan utama dari regulasi ini adalah untuk mendorong proses hilirisasi industri.
Perjuangan PT Freeport dalam Menghadapi Revisi Kebijakan Bea Keluar
“Tujuan utamanya adalah untuk mendukung hilirisasi, terutama dalam pembangunan smelter. Dengan demikian, penerimaan bea keluar akan sangat dipengaruhi oleh perkembangan pembangunan smelter dan fluktuasi harga komoditas, ini adalah hal yang akan kita pantau,” ungkapnya.
Dalam kutipan dari dokumen yang diajukan kepada Securities and Exchange Commission (SEC) di Amerika Serikat, perusahaan pertambangan besar asal AS, Freeport, menyebutkan bahwa anak perusahaannya, PT Freeport Indonesia (PTFI), sebenarnya telah diberikan izin untuk mengekspor 1,7 juta metrik ton konsentrat tembaga pada tanggal 24 Juli 2023.
Namun demikian, Freeport menunjukkan keberatannya terhadap penerapan bea keluar yang diberlakukan oleh pemerintah baru-baru ini. Hal ini disebabkan oleh ketentuan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang diberikan kepada PTFI pada tahun 2018 yang seharusnya telah membebaskan perusahaan dari kewajiban membayar bea keluar atas konsentrat setelah persentase kemajuan pembangunan smelter mencapai 50%.
Seperti yang telah diberitakan pada pertengahan bulan Juli, Kementerian Keuangan telah mengeluarkan revisi mengenai tarif bea keluar untuk berbagai produk ekspor, termasuk konsentrat tembaga. Bagi perusahaan yang sudah mencapai progres pembangunan smelter sebesar 70-90 persen, akan dikenakan bea keluar sebesar 7,5% pada semester kedua tahun 2023, dan tarif ini akan naik menjadi 10% pada tahun 2024.
Sementara bagi perusahaan yang telah mencapai progres pembangunan smelter di atas 90 persen, bea keluar yang diterapkan adalah 5% pada paruh kedua tahun 2023 dan akan meningkat menjadi 7,5% pada tahun 2024. “PTFI saat ini terus berdiskusi dengan pemerintah Indonesia mengenai implementasi perubahan peraturan ini,” tulis pernyataan dari perusahaan tersebut yang dikutip pada hari Senin (7/8/2023).
Dalam konteks peraturan sebelumnya, PTFI seharusnya bebas dari bea keluar setelah persentase kemajuan pembangunan smelter melebihi 50%. Hal ini sesuai dengan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang diberikan oleh pemerintah dan merujuk pada PMK 164 Tahun 2018.
Kontroversi Kebijakan Bea Keluar PT Freeport: Analisis, Dampak, dan Kesimpulan
Dalam menghadapi kontroversi kebijakan bea keluar PT Freeport, terdapat sejumlah aspek yang perlu diperhatikan. Kebijakan ini bukan hanya soal aspek finansial, tetapi juga berdampak pada kemajuan industri dalam proses hilirisasi.
Pemerintah perlu mempertimbangkan secara cermat antara penerimaan fiskal dan keberlanjutan industri dalam menetapkan tarif bea keluar yang adil dan berkelanjutan. Dengan demikian, kesimpulan dari perdebatan ini menggarisbawahi perlunya dialog terus menerus antara pemerintah dan industri guna mencapai keseimbangan yang saling menguntungkan bagi semua pihak.