Dalam dua minggu terakhir bulan November ini, terjadi kedatangan gelombang kapal kayu yang membawa ratusan imigran pengungsi Rohingya dan mendarat di beberapa pantai di Provinsi Aceh.
Kedatangan gelombang kapal kayu yang membawa ratusan imigran Rohingya tersebut menimbulkan masalah di mana warga Aceh di beberapa tempat menolak kehadiran mereka.
Warga menolak dan menginginkan agar imigran Rohingya itu kembali berlayar ke laut setelah diberikan bantuan makanan. Banyak pihak, seperti Majelis Permuwasyaratan Ulama (MPU) Aceh, Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan DPR Aceh, memberikan pendapat mereka mengenai kedatangan pengungsi imigran Rohingya di pantai-pantai Aceh.
Pemerintah Kabupaten Pidie mengaku masih menunggu kebijakan dari pemerintah pusat terkait penanganan imigran Rohingya yang memasuki wilayah mereka. Penjabat Bupati Pidie, Wahyudi Adisiswanto, mengungkapkan bahwa saat ini terdapat sekitar 220 imigran Rohingya yang tiba di Pidie dalam gelombang ketiga.
Mereka sementara ditempatkan di sekitar pantai dengan tenda yang sudah didirikan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah Pidie.
Pemerintah setempat menunggu kepastian dari pemerintah pusat, sementara imigran Rohingya tetap berada di sana dan telah dipindahkan ke tepi laut, di area bekas gudang ikan.
Dalam waktu yang akan datang, Pemerintah Kabupaten Pidie akan menolak kedatangan imigran Rohingya untuk mencegah terjadinya perdagangan manusia yang mungkin terjadi.
Penolakan Masyarakat dan Langkah Penanganan Gelombang Imigran Rohingya di Aceh
Pj Gubernur Aceh, Mayjen TNI (Purn) Achmad Marzuki, mengimbau kepada masyarakat Aceh untuk bersabar dalam menanggapi kedatangan imigran Rohingya ke Aceh, karena proses penanganannya masih dalam proses pengaturan.
Terhitung dalam dua minggu terakhir, sudah ada enam gelombang pengungsi Rohingya yang tiba di Aceh, dengan total lebih dari 1.071 orang. Kedatangan ini telah menimbulkan penolakan dari masyarakat Aceh, mulai dari Bireuen, Aceh Utara, hingga Kota Sabang.
Sebelumnya, sebanyak 219 imigran Rohingya yang mendarat di Pantai Ujong Kareung, Kota Sabang, telah dipindahkan ke bekas kantor Imigrasi Lhokseumawe. Sementara itu, 36 imigran Rohingya lainnya juga telah direlokasi ke Lhokseumawe dari Aceh Timur karena tidak ada fasilitas yang memadai untuk menampung mereka di sana.
UNHCR Indonesia juga menyatakan bahwa koordinasi dengan pemerintah pusat, provinsi Aceh, dan daerah terkait dalam menangani pengungsi Rohingya sudah berjalan cukup baik. Mereka berupaya untuk mendukung kebutuhan dasar pengungsi ini, termasuk transportasi dan kebutuhan hidup lainnya untuk menjadikan kehidupan mereka lebih layak.
Penolakan dan Tantangan Penanganan Gelombang Imigran Rohingya di Aceh: Koordinasi dengan UNHCR Sebagai Langkah Kunci
Dengan lebih dari seribu pengungsi Rohingya yang tiba dalam waktu dua minggu, pemindahan mereka ke lokasi yang lebih layak seperti bekas kantor Imigrasi Lhokseumawe dan usaha koordinasi dengan UNHCR menjadi langkah strategis.
Meskipun terjadi penolakan dari beberapa wilayah, hal ini juga menunjukkan pentingnya pendekatan manusiawi dalam menangani situasi kemanusiaan seperti ini.