Film dokumenter berjudul ‘Dirty Vote’ menjadi sorotan selama masa tenang Pilpres 2024. Kontroversi muncul setelah pihak-pihak terkait merespons secara berbeda terhadap isi film tersebut. Dukungan dan kritik terhadap film ini menyoroti perdebatan tentang kecurangan dalam proses pemilihan umum.
Reaksi Terhadap Film Dokumenter tentang Kecurangan Pemilu
Film dokumenter berjudul ‘Dirty Vote’ yang diputar selama masa tenang Pilpres 2024 telah menjadi bahan perdebatan. Meskipun mendapat banyak dukungan, film ini juga menuai kritik.
Habiburokhman, Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, menyebut film Dirty Vote sebagai sebuah karya yang sarat dengan fitnah. Ia juga mempertanyakan keabsahan klaim yang dibuat oleh pakar hukum dalam film tersebut, serta meragukan tuduhan kecurangan yang diarahkan kepada Prabowo-Gibran.
“Dalam film tersebut, sebagian besar kontennya merupakan fitnah yang sangat asumsional, penuh dengan narasi kebencian, dan sangat tidak realistis,” ujar Habib dalam sebuah konferensi pers di Media Center Prabowo-Gibran, Jakarta.
Habib menilai bahwa tujuan pembuatan film Dirty Vote adalah untuk merendahkan proses penyelenggaraan Pemilu 2024 dan bahwa tuduhan-tuduhan yang diungkap dalam film tersebut tidak memiliki dasar yang kuat.
Namun, meskipun demikian, TKN Prabowo-Gibran belum berencana untuk mengambil tindakan hukum terhadap film tersebut. Habib menyatakan bahwa TKN sedang fokus pada persiapan menjelang hari pemungutan suara dan menyatakan, “Jadi, kami memilih untuk menunda pengambilan tindakan hukum sementara waktu.”
Di sisi lain, Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar Pranowo-Mahfud MD menganggap temuan yang diungkap dalam film tersebut sebagai hal yang tidak baru dan sesuai dengan situasi saat ini.
Apresiasi, Kritik, dan Dampaknya dalam Politik Indonesia
Todung Mulya Lubis, Deputi Bidang Hukum TPN Ganjar-Mahfud, menyatakan bahwa film Dirty Vote bisa menjadi pengingat tentang banyaknya pelanggaran dalam Pemilu 2024. Ia berpendapat bahwa apa yang disampaikan dalam film tersebut tidaklah baru dan berharap agar tidak ada reaksi berlebihan terhadap film tersebut.
Menanggapi pernyataan Habiburokhman, Todung berharap tidak ada pihak yang bereaksi berlebihan terhadap film tersebut, terutama dengan melaporkannya ke polisi. Ia menambahkan, “Menurut saya, film ini adalah salah satu bentuk pendidikan politik yang sangat baik. Jadi, mari kita tidak terlalu sensitif, itu saja yang ingin saya sampaikan.”
Sementara itu, Muhaimin Iskandar atau Cak Imin, calon wakil presiden nomor urut 1, juga memberikan tanggapan terhadap film tersebut melalui cuitannya di media sosial. Namun, netizen menyarankan agar Cak Imin tidak terlalu banyak berkomentar selama masa tenang Pilpres 2024.
Cuitan Cak Imin sebenarnya hanya bertanya apakah ada yang sudah menonton film tersebut, sambil mengunggah trailer film tersebut.
Film dokumenter Dirty Vote yang baru saja dirilis oleh rumah produksi WatchDoc disutradarai oleh Dandhy Dwi Laksono dan mengungkap berbagai kecurangan dalam Pemilu 2024. Film ini menampilkan tiga ahli hukum tata negara: Bivitri Susanti, Feri Amsari, dan Zainal Arifin Mochtar. Film ini dapat ditonton di akun YouTube Dirty Vote.
Sebagai catatan, WatchDoc sebelumnya juga telah merilis film-film terkait momentum pemilu, seperti film Ketujuh pada tahun 2014, Jakarta Unfair menjelang Pilkada DKI Jakarta pada 2017, dan Sexy Killers pada Pilpres 2019.
Film Dokumenter ‘Dirty Vote‘ Memunculkan Polemik: Reaksi dan Analisis
Reaksi terhadap film ‘Dirty Vote’ mencerminkan polarisasi dalam politik Indonesia. Sementara beberapa pihak menilai film sebagai upaya untuk menyampaikan pesan tentang pelanggaran pemilu, yang lain menganggapnya sebagai fitnah dan narasi kebencian.
Meskipun demikian, film ini tetap menjadi perbincangan yang penting dalam konteks pendidikan politik. Pihak-pihak terkait diharapkan untuk menanggapi dengan bijaksana dan memperdalam diskusi tentang integritas demokrasi di Indonesia.