“Yang diharapkan sederhana, ‘Saya tidak memilih Ganjar lagi. Saya beralih, saya memilih Prabowo’. Itu haknya, boleh, tetapi, ada tata krama karena pernah sejalan, pernah bersama, ada suatu tata krama. Ini yang tidak ada. Maka dari itu, sejalan dengan pengakuan Jokowi, itulah dramanya,” paparnya.
Panda enggan menjawab secara terang-terangan mengenai sosok sutradara di balik drama ini. Baginya, sosok tersebut sudah jelas teridentifikasi dan bahkan telah mengakui.
Sebelumnya, Jokowi mengkritik dinamika politik menjelang Pemilu Presiden. Menurutnya, ada terlalu banyak drama Korea (drakor) dan sinetron yang mengiringi Pilpres yang akan digelar pada Februari 2024 mendatang.
Menurutnya, persaingan dan demokrasi adalah hal yang wajar. Namun, yang terjadi saat ini adalah persaingan yang lebih menekankan perasaan daripada persaingan gagasan.
“Baru-baru ini, yang kita saksikan terlalu banyak dramanya. Terlalu banyak drakornya. Terlalu banyak sinetronnya. Seharusnya ini adalah pertarungan ide, bukan pertarungan perasaan,” ujar Jokowi dalam perayaan HUT Golkar ke-59 di DPP Golkar, Slipi, Jakarta, pada Senin (6/11).
Kritik Tajam Panda Nababan terhadap Drama Politik dan Etika dalam Dinamika Pilpres 2024
Pandangan tajam Panda Nababan, politikus senior PDIP, memberikan sorotan mendalam terhadap keterlibatan dan permainan politik yang dituduhkan Presiden Jokowi terkait Pilpres 2024. Dari pencopotan Anwar Usman hingga hubungan emosional Megawati dengan MK, semuanya menjadi bahan evaluasi tajam Panda terhadap politik Indonesia saat ini.
Ketika berbicara tentang dramatisasi politik dan perubahan aliran dukungan, ia menyoroti etika dan tata krama dalam berpolitik, terutama terkait dengan pernyataan Jokowi mengenai drama politik dan perasaan yang mendominasi panggung politik.
Kesimpulannya, dalam keriuhan politik jelang Pilpres, Panda menggarisbawahi pentingnya fokus pada gagasan, bukan drama perasaan yang terlalu menggoda dalam pertarungan politik saat ini.