Syekh menjawab, “Tidak, sekalipun terdapat pendapat orang yang membawa kata musytarak (kata yang memiliki lebih dari satu makna) kepada seluruh makna-maknanya.
Sebab, terdapat kontroversi antara ancaman dan pembolehan. Namun, menjadikan salah satu tafsiran di atas sebagai patokan juga akan mengakibatkan tafsiran yang lain menjadi patokan.
Maksudnya, dosa-dosa melemahkan rasa malu seorang hamba, bahkan bisa jadi menghilangkannya secara keseluruhan.
Akibatnya, pelakunya tidak lagi terpengaruh atau merasa risih saat banyak orang mengetahui kondisi dan perilakunya yang buruk.
Lebih parah lagi, banyak di antara mereka yang menceritakan keburukannya. Semua ini disebabkan hilangnya rasa malu.
Jika seseorang sudah sampai pada kondisi tersebut, maka tidak dapat diharapkan lagi kebaikannya. Jika Iblis melihat rona wajahnya ia malu, dan berkata: “Aku menebus orang yang tidak beruntung.”
Al-Haya (malu) adalah turunan lafazh dari al-hayat (kehidupan). Hujan dinamakan haya karena ia merupakan sumber kehidupan bagi bumi, tanaman, dan hewan ternak.
Kehidupan dunia dan akhirat juga dinamakan al-haya. Oleh sebab itu, siapa yang tidak memiliki rasa malu ibarat mayat di dunia ini dan sungguh, dia akan celaka di akhirat.
Antara dosa dengan sedikitnya rasa malu dan tidak adanya cemburu memiliki kaitan yang sangat erat. Salah satunya akan memunculkan yang lain.
Siapa yang malu terhadap Allahﷻ saat mendurhakai-Nya, niscaya Allah ﷻ malu menghukumnya pada hari pertemuan dengan-Nya.
Demikian pula, siapa yang tidak malu mendurhakai-Nya, niscaya Dia tidak akan malu untuk menghukumnya.”