“Oleh karena itu, alat tidak dapat menjadi mufti. Fungsi alat hanya sebatas mengembangkan, menyampaikan, dan menginformasikan. Ini tidak mungkin terjadi,” tegasnya.
Sementara itu, Rektor Universitas Brawijaya, Widodo, mengatakan bahwa alat yang dimaksud dapat membantu mufti dalam proses pembuatan fatwa. Sebagai contoh, dalam kerjasama dengan universitas asing, alat atau sistem yang dikembangkan dapat digunakan untuk memanfaatkan autentikasi dan membantu memeriksa kehalalan produk dalam pengembangan riset dan alat.
“Alat atau sistem yang dikembangkan hanya sebagai alat bantu, sebagai sarana untuk membantu mufti dalam membuat fatwa. Itu kira-kira fungsinya,” ungkap Widodo.
Harmoni Antara Kecerdasan Buatan dan Kehalalan Produk: Memahami Peran AI dalam Pembuatan Fatwa
Dalam merangkum, Ma’aruf Amin menekankan bahwa AI tidak dapat menjadi mufti karena fatwa adalah karya manusia, sedangkan AI hanya berperan sebagai alat untuk menyampaikan informasi. Mufti, sebagai sosok yang memberikan fatwa, memiliki syarat-syarat khusus yang tidak dapat digantikan oleh teknologi.
Pandangan ini diperkuat oleh Rektor Universitas Brawijaya, Widodo, yang melihat AI sebagai sarana bantu bagi mufti dalam menyusun fatwa, terutama dalam memanfaatkan autentikasi dan memeriksa kehalalan produk. Dengan demikian, peran AI dianggap sebagai pelengkap, bukan pengganti, dalam konteks keagamaan.