Pelaku usaha ritel mengungkapkan penolakan tegas terhadap kebijakan kemasan rokok polos yang diatur dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) serta penerapan zonasi larangan penjualan produk tembakau dalam radius 200 meter dari institusi pendidikan. Kritikan ini disampaikan oleh Ketua Umum Aprindo, Roy N. Mandey, yang menilai bahwa kebijakan tersebut, yang merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, tidak hanya tidak memadai dalam sosialisasinya, tetapi juga berpotensi menimbulkan berbagai masalah praktis di lapangan, termasuk praktik pungutan liar.
Kritik Pedagang Ritel Terhadap Kebijakan Kemasan Rokok Polos dan Zonasi
Pelaku usaha ritel kini menanggapi dengan tegas terkait rencana kebijakan mengenai kemasan rokok polos atau plain packaging yang diatur dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK), sebagai bagian dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024. Mereka mengungkapkan penolakan terhadap kebijakan tersebut, yang dianggap akan memberikan dampak negatif bagi industri ritel.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy N. Mandey, memberikan kritik tajam terhadap wacana penerapan zonasi larangan penjualan produk tembakau dalam radius 200 meter dari institusi pendidikan serta kebijakan kemasan rokok polos. Menurutnya, sosialisasi terkait regulasi ini tidak memadai, pelaksanaannya sulit diimplementasikan, dan berpotensi menimbulkan praktik pungutan liar di lapangan.
“Peraturan ini memiliki pasal-pasal yang bersifat karet, yang dapat menyulitkan pelaku usaha dan memberikan keuntungan bagi pihak-pihak tertentu,” ujar Roy dalam sebuah diskusi media baru-baru ini.
Roy juga menggarisbawahi dampak negatif dari kebijakan ini terhadap pedagang kecil dan tenaga kerja. Ia menilai bahwa regulasi ini, yang hanya berfokus pada aspek kesehatan tanpa mempertimbangkan dampak ekonomi, dapat menghancurkan usaha kecil dan mengurangi omzet secara drastis. “Kami berharap regulasi ini bisa menyeimbangkan aspek kesehatan dengan ekonomi,” tambahnya.
Dia juga mengungkapkan kekhawatirannya mengenai penurunan omzet bagi pedagang kecil dan pengecer, yang pada gilirannya bisa berdampak pada ekonomi negara. Menurutnya, tujuan pemerintah untuk mengurangi prevalensi perokok bisa menjadi tidak jelas dan salah sasaran. Akibatnya, pedagang dan pengecer yang selama ini patuh terhadap aturan justru akan mendapatkan tekanan berat.
“Pemerintah perlu melihat dari sisi hulu hingga hilir dan mempertimbangkan dampak seperti pemutusan hubungan kerja (PHK) dan kemiskinan yang mungkin timbul. Kesehatan seharusnya tidak dipertentangkan dengan ekonomi,” tegas Roy.
Roy juga menyampaikan kekhawatiran bahwa kombinasi kebijakan kemasan rokok polos dan penerapan zonasi larangan penjualan produk tembakau dapat meningkatkan konsumsi rokok ilegal yang semakin meresahkan. Kesulitan bagi konsumen dewasa untuk mengakses produk tembakau legal dan kurangnya informasi mengenai produk tersebut berpotensi menyebabkan pergeseran ke konsumsi rokok ilegal.
Aprindo telah berusaha menyuarakan kekhawatiran pedagang ritel dengan mengirimkan surat kepada kementerian terkait, meminta agar dilakukan pengkajian ulang. Namun, menurut Roy, banyak pasal dalam regulasi tersebut yang tidak jelas dan asosiasi tidak pernah dilibatkan dalam diskusi. Beberapa kementerian yang terlibat dalam proses pengesahan dianggap tidak memiliki keterkaitan langsung dengan nasib pedagang ritel.
“Kami berharap adanya keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan kesehatan dalam peraturan ini. Pemerintah perlu mempertimbangkan pelaksanaan teknisnya dan memastikan adanya pengawasan yang efektif. Nasib pedagang yang selama ini patuh harus menjadi perhatian utama,” tutup Roy.
Kritik Pelaku Ritel Terhadap Kebijakan Kemasan Rokok Polos dan Dampaknya Terhadap Industri
Pelaku usaha ritel, melalui Aprindo yang dipimpin oleh Roy N. Mandey, menolak keras kebijakan kemasan rokok polos dan zonasi larangan penjualan produk tembakau. Roy mengkritik regulasi ini sebagai tidak memadai dan berpotensi menyebabkan masalah pelaksanaan serta praktik pungli di lapangan.