Dalam rapat dengan Komisi IX DPR RI, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan perbandingan antara demam berdarah dengue (DBD) yang umumnya terjadi di perkotaan dengan malaria yang lebih sering ditemukan di pedesaan. Dia juga memproyeksikan perubahan pola penyebaran penyakit ini akibat pembangunan yang masif di beberapa daerah.
Menteri Kesehatan Bongkar Perbandingan DBD dan Malaria di Indonesia
Menteri Kesehatan (Menkes RI), Budi Gunadi Sadikin, menjelaskan bahwa demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh nyamuk yang umumnya ditemukan di perkotaan, berbeda dengan nyamuk yang mendominasi di daerah pedesaan yang cenderung menyebabkan malaria. Dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR RI hari ini, Selasa (21/5/2024), Budi mengungkapkan bahwa DBD lebih sering terjadi di kota, sementara malaria lebih umum di pedesaan. Menurutnya, transformasi dari malaria ke DBD dapat terjadi ketika daerah pedesaan mengalami perkembangan pembangunan yang signifikan.
“Dengue ini lebih banyak menyerang daerah perkotaan, sementara nyamuk di pedesaan cenderung menyebabkan malaria. Namun, jika desa berubah menjadi perkotaan, populasi nyamuknya pun berubah, mungkin menjadi lebih ‘elit’,” ujar Budi saat menyampaikan pandangannya dalam rapat dengan Komisi IX DPR RI di Gedung Nusantara I, Jakarta, pada Selasa (21/5/2024).
Sebagai contoh, Budi, yang merupakan lulusan Fisika Nuklir dari Institut Teknologi Bandung (ITB), membahas kondisi di Ibukota Negara Nusantara (IKN), Kalimantan Timur, yang saat ini masih menjadi daerah endemis malaria. Dia menegaskan bahwa malaria di IKN bisa berubah menjadi DBD jika pembangunan terus berlanjut.
“Jadi, jika saat ini IKN masih memiliki kasus malaria yang signifikan, saya yakin dalam waktu dekat, dengan semakin banyaknya pembangunan, kita akan melihat peningkatan kasus DBD di sana,” tambah Budi.
Perkembangan Penyakit Nyamuk: DBD vs Malaria
Meskipun demikian, Menkes RI menegaskan bahwa kasus penyebaran DBD di Indonesia saat ini masih cukup terkendali. Dia mengatakan bahwa penyebaran DBD di Indonesia masih lebih rendah dibandingkan dengan negara seperti Brasil.
“Kami masih dalam kondisi relatif terkendali dibandingkan dengan negara lain. Saya baru saja kembali dari Brasil, di sana angka kasusnya sangat tinggi,” ungkap Budi.
Budi, yang akrab disapa BGS, juga mengungkapkan bahwa kasus DBD di Indonesia mengalami siklus tertentu yang dipengaruhi oleh faktor iklim, seperti El Nino. Dia sudah mengantisipasi bahwa kasus DBD akan meningkat saat fenomena El Nino terjadi.
“DBD memiliki siklus tertentu yang dipengaruhi oleh iklim. Ketika El Nino muncul, kami sudah memprediksi bahwa kasusnya akan meningkat,” jelas BGS.
Lebih lanjut, Budi memperkirakan bahwa kasus DBD akan mengalami penurunan pada bulan Juli mendatang. Dia juga memberikan informasi bahwa hingga 5 Mei 2024, total kasus DBD di Indonesia mencatat 91.269 kasus dengan 641 kematian.
“Kami memperkirakan akan terjadi penurunan pada bulan Juli. Pola ini berdasarkan pengamatan tahunan, di mana puncak kasus biasanya terjadi pada bulan Desember dan Februari,” tutur Budi.
Perkembangan DBD dan Malaria di Indonesia: Tantangan Kesehatan dan Prediksi untuk Masa Depan
Budi Gunadi Sadikin menegaskan bahwa meskipun kasus DBD di Indonesia saat ini masih terkendali, faktor-faktor seperti perubahan iklim, seperti El Nino, dapat mempengaruhi peningkatan kasus di masa mendatang. Dia memprediksi bahwa dengan adanya pembangunan yang terus berkembang, daerah-daerah yang sebelumnya endemis malaria dapat mengalami transformasi menjadi daerah dengan kasus DBD yang lebih tinggi.
Namun demikian, Budi optimis bahwa upaya pengendalian dan penanggulangan yang terus dilakukan akan membantu mengurangi angka kasus DBD di masa yang akan datang. Sebagai kesimpulan, kondisi epidemiologi DBD di Indonesia terus dipantau dengan seksama untuk mengantisipasi perubahan pola penyebaran penyakit ini.