Dalam era di mana hewan peliharaan bukan sekadar “hewan,” tetapi menjadi bagian tak terpisahkan dari keluarga, Korea Selatan menawarkan solusi kontroversial untuk mengatasi kehilangan. Kloning hewan peliharaan menjadi fenomena yang legal di negara ini, memicu perdebatan etika dan kekhawatiran terhadap kesejahteraan hewan.
Mengikuti kisah menyentuh seorang pemilik yang mendekap anjing kloningnya, Tico, setelah berpisah selama beberapa bulan, artikel ini mengungkapkan metode kloning, ketidakjelasan undang-undang, dan pandangan ahli hak-hak hewan di Korea Selatan.
Kisah Emosional di Balik Kloning Anjing Tico yang Mendunia
Hewan peliharaan tidak hanya menjadi “hewan” bagi sebagian besar orang, tetapi juga sahabat, penjaga, bahkan anggota keluarga. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika kehilangan hewan peliharaan, terutama anjing atau kucing, menjadi duka yang mendalam bagi sebagian orang.
Pada awal tahun 2024, sebuah video menggugah hati muncul di YouTube, menampilkan pemilik yang mendekap anjingnya, Tico, setelah berpisah selama beberapa bulan. Namun, pertemuan ini bukanlah pertemuan biasa.
Dilansir dari The Korea Herald, Tico sebenarnya telah meninggal pada November 2022, dan anjing yang muncul dalam video tersebut adalah hasil dari kloning untuk menggantikannya.
Meskipun bagi sebagian orang hal ini mungkin mengejutkan, kloning hewan ternyata legal di Korea Selatan, meskipun tanpa kerangka regulasi yang memadai untuk mengawasi dan membatasi potensi penyalahgunaan dalam proses tersebut.
Proses kloning hewan peliharaan di Korea Selatan dilakukan melalui metode transfer inti sel somatik. Sel hidup diambil dari sampel jaringan hewan yang meninggal dalam waktu 24 jam setelah kematian, telur yang tidak dibuahi, dan DNA.
Inti sel dari sampel jaringan anjing asli disuntikkan ke dalam telur tanpa DNA, yang kemudian tumbuh dan berdiferensiasi menjadi sel pluripoten di laboratorium. Selanjutnya, sel ini disuntikkan ke “induk anjing pengganti” yang membawa telur tersebut hingga ke akhir kehamilan.
Meskipun banyak yang menganggap kloning hewan peliharaan sebagai cara untuk mengatasi kehilangan, aktivis hak-hak hewan, Shin Joo-woon dari Korea Animal Rights Advocates, menyatakan keprihatinan terkait implikasi bioetika.
Ia mengungkapkan bahwa banyak anjing lain harus dikorbankan untuk memenuhi keinginan satu pemilik hewan peliharaan.
Implikasi Bioetika: Keprihatinan terhadap Kesejahteraan Hewan di Kloning Hewan Peliharaan
Ketidakjelasan dalam undang-undang saat ini menjadi perhatian utama. UU Perlindungan Hewan di Korea Selatan tidak mencakup klausul yang mengatur atau melarang kloning hewan, dan keberadaan undang-undang yang membatasi pengujian pada hewan membuat laboratorium kloning beroperasi tanpa regulasi yang memadai.
Dalam kasus kloning hewan, seperti yang dilaporkan oleh media pada tahun 2017 dan 2018, tokoh terkenal seperti mantan ketua Samsung Group, Lee Kun-hee, dan penyanyi serta aktris Amerika Serikat, Barbra Streisand, telah melakukan kloning pada hewan peliharaan mereka.
Meskipun layanan kloning anjing semakin populer, terdapat kebutuhan mendesak untuk undang-undang yang mengatur kloning hewan peliharaan dan menambahkan transparansi dalam proses kloning.
Aktivis hak-hak hewan, Han Joo-hyun, mendorong pemerintah untuk membentuk komite etika hewan guna mengawasi prosedur kloning di setiap laboratorium.
Pemerintah Korea Selatan saat ini sedang melakukan diskusi aktif dan meninjau UU Perlindungan Hewan untuk menentukan apakah kloning hewan termasuk dalam cakupan pengujian pada hewan. Pejabat dari Divisi Kebijakan Kesejahteraan Hewan Kementerian Pertanian, Pangan, dan Urusan Pedesaan menyatakan bahwa revisi UU dapat dilakukan di masa depan jika dianggap perlu, dengan fokus pada aspek kloning hewan peliharaan.
Kloning Hewan Peliharaan di Korea Selatan: Kontroversi Bioetika dan Panggilan untuk Regulasi
Dalam menghadapi fenomena kloning hewan peliharaan di Korea Selatan, kontroversi bioetika dan keprihatinan terhadap kesejahteraan hewan semakin menjadi sorotan. Aktivis hak-hak hewan, Shin Joo-woon, menyoroti pengorbanan anjing lain untuk memuaskan keinginan pemilik, sementara kekurangan transparansi dalam proses kloning menciptakan kekhawatiran lebih lanjut.
Sementara itu, ketidakjelasan dalam undang-undang membuka pintu bagi operasi laboratorium tanpa pengawasan yang memadai. Untuk mengatasi tantangan ini, desakan muncul untuk membentuk undang-undang yang mengatur kloning hewan peliharaan dan menambahkan transparansi dalam proses kloning.
Bagaimana Korea Selatan akan menanggapi panggilan ini dalam mengarahkan masa depan kloning hewan peliharaan tetap menjadi pertanyaan besar yang menuntut jawaban.