Polda Metro Jaya telah meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan supervisi dalam kasus pemerasan yang melibatkan Firli Bahuri. Bagaimana hasil koordinasi ini akan memengaruhi penanganan kasus tersebut? Mari kita lihat dalam kesimpulan artikel ini.
Permintaan Supervisi Polda Metro Jaya dalam Kasus Pemerasan Firli Bahuri
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya merespons permintaan Polda Metro Jaya untuk melakukan supervisi terhadap penanganan kasus pemerasan yang melibatkan Firli Bahuri. KPK mengungkapkan keinginan mereka untuk berkoordinasi terlebih dahulu sebelum membuat keputusan apakah mereka akan menerima permintaan tersebut.
Ali Fikri, juru bicara KPK, menjelaskan, “Sebelum KPK menentukan apakah perlu atau tidak melakukan supervisi, kami akan terlebih dahulu melakukan koordinasi.” Pada Jumat (3/11/2023), Ali mengirimkan jawaban tersebut kepada Polda Metro Jaya dalam bentuk surat.
Surat yang dikirimkan oleh KPK merupakan tanggapan terhadap permintaan supervisi dari Polda Metro Jaya terkait kasus ini.
Ali menekankan pentingnya koordinasi ini sebagai langkah awal untuk mengumpulkan informasi tanpa membahas substansi perkara. Informasi yang terkumpul akan nantinya dianalisis dan ditelaah oleh tim KPK.
Hasil analisis ini akan menjadi dasar untuk memutuskan apakah KPK akan melakukan supervisi terhadap penanganan perkara tersebut.
Ali menambahkan, “Proses ini sesuai dengan kewenangan KPK dalam melakukan koordinasi dan supervisi yang diatur dalam Pasal 6, 8, 10, 10A UU Nomor 19 tahun 2019 serta Perpres 102 tahun 2020 tentang Pelaksanaan Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.”
Koordinasi KPK dan Polda: Bagaimana Hasilnya akan Mempengaruhi Kasus Ini?
Sebelumnya, Kapolda Metro Jaya, Irjen Karyoto, telah mengirimkan surat permintaan supervisi kepada KPK pada Rabu (11/10/2023). Permintaan supervisi ini berkaitan dengan penyelidikan kasus dugaan pemerasan yang melibatkan mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo. Firli Bahuri, Ketua KPK, menjadi terlapor dalam kasus ini.