Kontroversi muncul terkait pemilihan Kaesang Pangarep sebagai Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dalam kasus yang berkaitan dengan batas usia calon presiden dan wakil presiden. Koordinator Pergerakan Advokat Nusantara (Perekat Nusantara), Petrus Selestinus, mendesak para hakim Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengundurkan diri dari pengujian kasus ini, dengan alasan adanya hubungan keluarga dan potensi konflik kepentingan. Bagaimana perdebatan ini memengaruhi proses uji materiel di MK?
Kaesang Pangarep Sebagai Ketua PSI Picu Debat Soal Batas Usia Capres
Pergerakan Advokat Nusantara (Perekat Nusantara) menganggap bahwa pemilihan Kaesang Pangarep sebagai Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) telah mempersulit proses uji materiel Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang berkaitan dengan batas usia minimum calon presiden dan wakil presiden di Mahkamah Konstitusi (MK).
Koordinator Perekat Nusantara, Petrus Selestinus, menyampaikan pandangan ini saat ia mengajukan surat somasi kepada seluruh hakim MK. Mereka menuntut agar semua hakim MK mengundurkan diri dari kasus yang sedang diuji terkait batas usia calon presiden dan wakil presiden.
Petrus juga menyoroti hubungan keluarga antara Ketua MK Anwar Usman dengan Kaesang Pangarep, yang saat ini menjabat sebagai Ketua Umum PSI. Salah satu gugatan yang berkaitan dengan batas usia, Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, diajukan oleh PSI.
Menurut Petrus, terpilihnya atau penunjukan Kaesang sebagai Ketua Umum PSI memperburuk kasus ini karena ada hubungan keluarga di antara mereka. Ia menjelaskan bahwa Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengharuskan hakim konstitusi untuk mengundurkan diri dari kasus jika mereka memiliki hubungan keluarga atau semenda dengan pihak yang diadili.
Petrus menilai bahwa Anwar tidak dapat menjadi netral dalam menguji kasus ini karena adanya hubungan keluarga.
Selain itu, Petrus juga mengemukakan alasan somasi lainnya, yaitu bahwa hakim konstitusi memiliki kepentingan dalam kasus batas usia calon presiden dan wakil presiden ini. Ada kemungkinan bahwa MK akan mengubah batas usia minimum dan/atau maksimum, serta usia pensiun hakim MK melalui uji materiel di MK.
Ancaman terhadap Hakim MK dan Isu Keadilan Pemilu
Jika para hakim konstitusi tetap melanjutkan dengan pembacaan putusan pada Senin (16/10) mendatang, Perekat Nusantara berencana untuk melaporkan mereka ke Majelis Kehormatan MK (MKMK) dan juga membuka kemungkinan melaporkan mereka secara pidana.
Petrus menjelaskan bahwa selain sanksi administratif, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 juga mengatur sanksi pidana bagi hakim yang melanggar aturan tersebut. MK akan menggelar sidang pengucapan putusan untuk sejumlah kasus batas usia calon presiden dan wakil presiden pada Senin (16/10) pukul 10.00 WIB di Gedung MKRI 1 Lantai 2, Jakarta.
Kasus-kasus yang akan diputuskan mencakup Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 (dengan pemohon dari PSI), Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 (dengan pemohon dari Partai Garuda), Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023 (dengan pemohon Wali Kota Bukittinggi Erman Safar, Wakil Bupati Lampung Selatan Pandu Kesuma Dewangsa, dan Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elestianto Dardak).
Selain itu, ada juga Nomor Perkara 90/PUU-XXI/2023 (dengan pemohon Almas Tsaqibbirru Re A), Nomor Perkara 91/PUU-XXI/2023 (dengan pemohon Arkaan Wahyu Re A), dan Nomor Perkara 92/PUU-XXI/2023 (dengan pemohon Melisa Mylitiachristi Tarandung).
Terdapat pula agenda sidang Pengucapan Putusan/Ketetapan untuk Nomor Perkara 105/PUU-XXI/2023 (dengan pemohon Soefianto Soetono dan Imam Hermanda).
Kontroversi Kaesang Pangarep sebagai Ketua Umum PSI dalam Kasus Batas Usia Capres-Cawapres
Petrus menilai bahwa para hakim konstitusi harus menjauh dari kasus ini karena mereka mungkin memiliki kepentingan terkait perubahan batas usia capres-cawapres. Selain itu, ada potensi MK akan memutuskan mengubah batas usia minimum dan maksimum serta usia pensiun hakim MK dalam uji materiel.
Meskipun ada ancaman pelaporan dan tindakan hukum terhadap hakim MK, keputusan akhir akan diambil pada sidang pengucapan putusan pada Senin, 16 Oktober. Kontroversi ini akan tetap menjadi sorotan dalam upaya untuk menjaga keadilan dan netralitas dalam penentuan aturan pemilu di Indonesia.