Hilirisasi di Indonesia: Presiden Jokowi Pertahankan Meski Dihadapkan Serangan WTO dan IMF
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan komitmen pemerintah dalam melanjutkan program hilirisasi meskipun mendapat serangan dari dunia internasional terkait larangan ekspor mineral mentah dan upaya hilirisasi di dalam negeri.
Kritik dan gugatan dari Uni Eropa di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) serta kritikan dari Dana Moneter Internasional (IMF) tak menggoyahkan tekad Jokowi untuk mendorong Indonesia menjadi negara maju melalui hilirisasi. Nilai ekspor nikel Indonesia meningkat tajam setelah penerapan hilirisasi, namun, terdapat tantangan dan perlu kajian lebih lanjut terhadap kebijakan ini.
Presiden Jokowi Berkomitmen Pertahankan Hilirisasi Meski Dikecam WTO dan IMF
Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memberikan tanggapan terhadap kritik yang berulang terkait kebijakan pemerintah Indonesia, terutama terkait larangan ekspor mineral mentah dan upaya hilirisasi di dalam negeri.
Presiden Jokowi dengan tegas menyatakan bahwa pemerintah akan tetap melanjutkan program hilirisasi meskipun mendapat kritik dari berbagai pihak, termasuk gugatan dari Uni Eropa di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan kritikan dari Dana Moneter Internasional (IMF).
“Karena itu, kita harus terus melanjutkan hilirisasi, meskipun dihadapkan pada gugatan WTO atau peringatan dari IMF, kita tidak boleh mundur dari program ini,” kata Presiden Jokowi dalam sambutannya saat menghadiri acara pengukuhan Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia masa bakti 2023-2028 di Grand Ballroom Hotel Kempinski, Jakarta, pada Sabtu (5/8/2023).
Presiden Jokowi juga menegaskan bahwa kebijakan hilirisasi di dalam negeri sangat penting untuk mendorong Indonesia menuju negara maju.
“Sore ini, saya ingin berbicara tentang hilirisasi karena menurut saya ada dua hal penting yang bisa membuat kita maju menjadi negara maju, yaitu pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) karena bonus demografi yang berhasil dilakukan, namun masih belum optimal saat ini,” kata Jokowi.
“Jika hal itu dapat terlaksana, hilirisasi yang berhasil di sektor perkebunan, perikanan, dan pertanian akan membuat kita maju menurut perhitungan World Bank, IMF, OECD di tahun 2040-2045,” tambahnya.
Presiden Jokowi juga menyampaikan bahwa keberhasilan hilirisasi nikel Indonesia telah menciptakan lapangan kerja yang jauh lebih besar dibandingkan ketika hanya menjual mineral mentah.
“Dulu, lapangan kerja di sektor nikel hanya menyerap sekitar 1.800 tenaga kerja. Namun, setelah dilakukan program hilirisasi, jumlah tenaga kerja yang terlibat mencapai 71.500 orang. Angka tersebut baru untuk wilayah Sulawesi Tengah saja, belum termasuk daerah lain yang juga turut mengimplementasikan program hilirisasi,” jelasnya.
Belum lagi, di wilayah Maluku Utara sebelum hilirisasi hanya ada 500 pekerja, namun setelah program hilirisasi diimplementasikan, jumlah pekerja meningkat menjadi 45.600 orang.
Hilirisasi Diapresiasi, Jokowi: Bonus Demografi dan Pengembangan SDM Kunci Sukses
Selain itu, Presiden juga menyebutkan bahwa nilai ekspor nikel Indonesia melonjak tajam setelah penerapan program hilirisasi. Pada tahun 2022, nilai ekspor nikel mencapai US$33,8 miliar atau sekitar Rp512 triliun (asumsi kurs Rp15.152/US$), dibandingkan dengan hanya US$2,1 miliar atau sekitar Rp31,82 triliun saat masih menjual mineral mentah beberapa tahun sebelumnya.
“Jika melihat nilai ekspor untuk semua produk turunan nikel, bukan hanya besi baja, dulu nilainya hanya US$1,1 miliar. Namun, setelah hilirisasi, nilai ekspor produk turunan nikel pada 2014-2015 melonjak menjadi Rp510 triliun, dari nikel saja, nilainya melonjak dari US$2,1 miliar menjadi US$33,8 miliar. Bayangkan seberapa besar lonjakan yang terjadi,” paparnya.
Dalam konteks ini, diketahui bahwa Uni Eropa telah menggugat Indonesia di WTO karena melarang ekspor bijih nikel pada tahun 2020. Meskipun pada Oktober 2022, WTO menyetujui gugatan Uni Eropa dan meminta Indonesia untuk mengubah kebijakannya, pemerintah Indonesia tetap mengajukan banding atas keputusan tersebut pada Desember 2023.
Tak lama setelah itu, Uni Eropa kembali melakukan “serangan” dengan mengadakan konsultasi Penegakan Aturan atau Enforcement Regulation, meskipun proses sidang banding belum selesai. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan konsultasi dari industri-industri yang dirugikan oleh kebijakan pemerintah Indonesia.
Jika terbukti ada kerugian, Uni Eropa berencana melakukan pembalasan, salah satunya dengan menerapkan bea masuk pada barang-barang yang berasal dari Indonesia.
Sementara itu, IMF juga memberikan kritik terhadap kebijakan hilirisasi Presiden Jokowi. IMF tiba-tiba mengeluarkan pernyataan bahwa Indonesia perlu mempertimbangkan secara bertahap penghapusan larangan ekspor nikel dan tidak memperluasnya untuk komoditas lain.
IMF juga menuntut agar program hilirisasi di Indonesia dikaji ulang, terutama dari segi analisis biaya dan manfaat. Menurut lembaga internasional ini, kebijakan hilirisasi memberikan kerugian bagi Indonesia.
“Biaya fiskal dari penerimaan negara yang hilang saat ini mungkin terlihat kecil, namun hal ini perlu dipantau sebagai bagian dari penilaian biaya-manfaat,” ungkap IMF dalam laporan Article IV Consultation, yang dikutip pada Sabtu (5/8/2023).
Dengan demikian, IMF mendorong adanya analisis rutin mengenai biaya dan manfaat program hilirisasi, yang harus diinformasikan secara berkala dengan fokus pada keberhasilan program tersebut serta perluasan hilirisasi ke jenis mineral lain.
Lebih lanjut, lembaga ini menyarankan agar kebijakan industri juga dirancang dengan cara yang tidak menghambat persaingan dan inovasi, serta meminimalkan dampak negatif yang mungkin terjadi lintas batas.
Menanggapi Serangan WTO dan IMF: Kajian Lebih Lanjut Dibutuhkan untuk Kebijakan Hilirisasi di Indonesia
Jika terbukti ada kerugian, Uni Eropa berencana melakukan pembalasan, salah satunya dengan menerapkan bea masuk pada barang-barang yang berasal dari Indonesia.
Sementara itu, IMF juga memberikan kritik terhadap kebijakan hilirisasi Presiden Jokowi. IMF tiba-tiba mengeluarkan pernyataan bahwa Indonesia perlu mempertimbangkan secara bertahap penghapusan larangan ekspor nikel dan tidak memperluasnya untuk komoditas lain.
IMF juga menuntut agar program hilirisasi di Indonesia dikaji ulang, terutama dari segi analisis biaya dan manfaat. Menurut lembaga internasional ini, kebijakan hilirisasi memberikan kerugian bagi Indonesia.